Orang-orang menyebutku Penjaga Gerbang, seakan aku ini dewa pelindung batas semesta. Padahal, aku cuma manusia. Aku adalah Rael, seorang manusia yang tidak punya pilihan selain berdiri sendirian di tengah badai kekacauan antardimensi yang terus menggeliat dan berusaha menelan segala sesuatu yang dikenal dunia.
Aku tinggal di antara selama dua dunia. Bukan sebagai penduduk lokal ataupun sebagai utusan, tapi sebagai yang tersisa. Sebuah entitas yang terjebak di celah waktu dan tidak bisa bergerak. Setengah dari hidupku mengabdi pada kebenaran yang sudah tidak dipedulikan, dan setengah lainnya dikorbankan demi perjanjian berdarah yang aku buat dua puluh tahun lalu.
Perlu diketahui gerbang itu bukan sekadar pintu.
Ia bernapas. Berdetak. Berbisik.
Setiap malam aku mendengar namaku dipanggil oleh makhluk-makhluk yang tidak memiliki wajah. Kadang suara mereka seperti lolongan binatang, kadang seperti isak bayi yang baru dilahirkan. Tapi aku tahu maksud mereka sama, mereka menawar kebebasan. Mereka ingin keluar. Dan aku… aku adalah satu-satunya penghalang bagi mereka.
Dulu, aku adalah seorang ilmuwan. Pemimpin proyek rahasia pemerintah bernama “Tebasan Cahaya.” Kami mencoba membuktikan teori tentang alam semesta paralel yang bisa saling bersentuhan. Tapi yang kami buka bukan pintu menuju sains… melainkan lubang neraka. Dunia di sisi lain bukan seperti dunia yang kami bayangkan. Tidak ada langit biru. Tidak ada matahari. Hanya kegelapan pekat dan makhluk-makhluk yang tidak bisa dijelaskan secara logika.
Dari lima belas orang dalam timku, hanya aku yang selamat. Itu pun karena aku membuat perjanjian dengan makhluk yang menyebut dirinya sebagai Arshel, Penatua Gerbang. Dia memberiku kehidupan dengan syarat aku harus menggantikan penjaga sebelumnya. Selamanya.
Ya, selamanya Itu kata yang ringan diucapkan tapi berat untuk dipikul.
Waktuku tidak mengalir seperti manusia biasa. Aku hidup dalam ruang yang tidak punya pagi atau malam. Hanya keabadian dan cahaya temaram dari energi gerbang yang tak pernah padam. Tubuhku tidak menua, tapi jiwaku membusuk secara perlahan.
Terkadang aku merindukan suara manusia. Merindukan bunyi hujan. Merindukan aroma roti hangat dan suara anak-anak berlarian di pinggir jalan.
Tapi gerbang tidak mengizinkanku pergi terlalu jauh. Aku bisa meninggalkan tempat ini, tapi hanya selama tiga jam sehari. Dan itu pun dengan risiko besar, jika aku tidak kembali tepat waktu, makhluk di sisi lain akan menemukan celah untuk lolos. Sekali saja itu terjadi, dunia tidak akan pernah sama.
Tiga hari yang lalu, aku bertemu seorang anak perempuan. Namanya Meika. Ia tersesat ke wilayah terlarang dekat gerbang, tempat yang bahkan tentara takut untuk mendekat. Aku menemukannya duduk di batu besar, kakinya berdarah, matanya ketakutan.
“Pak… apakah ini surga?” tanyanya polos.
Aku tidak menjawab. Bagaimana bisa aku katakan padanya bahwa ia tengah berdiri di ambang alam baka?
Aku menggendongnya dan membawanya menjauh dari gerbang. Tubuh kecilnya gemetar, tapi ia tidak menangis. Ia hanya menggenggam lengan bajuku erat-erat dan sesekali bertanya kenapa tempat itu sunyi sekali. Aku berbohong. Kataku, ini tempat penelitian lama yang sudah ditinggalkan.
Tapi anak itu cerdas. “Kalau ditinggalkan, kenapa Bapak tinggal di sana?”
Aku tidak menjawab.
Saat aku meninggalkannya di pos militer terdekat, Meika menatapku dengan wajah bingung. Ia seperti ingin bertanya lebih banyak, tapi gadis itu memilih untuk diam. Sebelum aku berbalik, ia sempat berkata lirih, “Bapak seperti… bukan orang biasa.”
Kata-kata itu menghantui pikiranku selama tiga hari.
Dan malam ini, gerbang berguncang lebih keras dari biasanya. Energinya melonjak. Dinding realitas bergetar. Makhluk-makhluk di sisi lain tidak lagi berbisik, mereka mulai menjerit. Mereka tahu ada celah yang bisa mereka manfaatkan.
Dan celah itu… adalah aku.
Selama dua puluh tahun, aku tidak pernah goyah. Tapi satu jam bersama anak kecil bernama Meika membuat jiwaku retak. Aku mulai mempertanyakan semua pengorbananku. Untuk apa? Apakah dunia benar-benar peduli? Apakah aku akan dikenang, atau hanya menjadi hantu dalam catatan rahasia yang dilupakan?
Jeritan dari balik gerbang berubah menjadi suara. Bukan suara asing. Suara ibuku. Suara kekasihku. Suara sahabat-sahabatku yang sudah mati dua dekade lalu.
“Rael… kembalilah pada kami…”
Aku gemetar.
Mereka memanggil dengan kelembutan, tapi aku tahu itu tipu daya. Makhluk-makhluk itu menyusun ilusi dari luka-luka terdalamku. Mereka tahu kelemahanku bukan tubuh… melainkan kenangan.
Tapi malam ini, aku tidak akan gentar.
Aku berdiri di depan gerbang, menggenggam tombak energi yang sudah lama berkarat di tanganku. Tombak itu bukan senjata biasa—ia terbentuk dari jiwa para penjaga sebelumnya. Setiap kali aku mengayunkannya, aku merasakan beban dosa mereka.
Makhluk-makhluk itu mulai merobek tirai dimensi. Satu tangan hitam besar muncul dari celah. Diikuti oleh mata berwarna darah yang terbuka perlahan di udara.
Aku berteriak, melempar tombak ke arah celah, memaksa tirai untuk menutup kembali.
Tapi kali ini… mereka tidak gentar.
Tangan itu menggenggam tombakku dan melemparkannya ke arahku. Aku terpental. Darahku menyembur dari mulut. Rasanya seperti tulang rusukku hancur. Tapi aku bangkit lagi.
Mereka tidak akan melewati aku. Tidak malam ini.
Aku menggenggam liontin kecil yang tergantung di leherku. Di dalamnya, ada foto lama. Foto seluruh tim peneliti sebelum tragedi itu terjadi. Wajah-wajah yang tidak pernah kembali.
“Lihat aku sekarang…” bisikku pada mereka. “Lihat, aku masih di sini…”
Gerbang mulai tertutup perlahan. Makhluk-makhluk itu menjerit lebih keras, seperti anak kecil yang direnggut mainannya. Tapi aku tidak peduli. Aku akan terus berdiri, sampai tubuhku menjadi abu, sampai tulangku menjadi batu penjaga gerbang ini.
Karena ini bukan tentang aku lagi.
Ini tentang dunia.
Tentang anak-anak seperti Meika yang pantas hidup tanpa teror dari entitas asing.
Tentang manusia-manusia biasa yang tak pernah tahu bahwa realitas mereka dijaga oleh satu orang gila yang pernah membuat kesalahan besar.
Namaku Rael.
Aku adalah penjaga.
Dan selama aku masih bernapas, tidak ada satu makhluk pun yang akan melewati gerbang ini.