Danton Shop – Dedaunan maple di halaman istana berjatuhan seperti jeritan sunyi, menandai pagi yang sama sekali tak lagi asing bagi Count Dimas Ardhana. Dahulu, cahaya mentari memantul di mutiara mahkota yang dikenakannya, tapi kini ia melangkah tanpa mahkota, tangan kirinya memeluk kerah jubah gelap, telinga tinggalkan gema pujian, digantikan bisikan pengkhianatan.
Sembilan bulan lalu, Count Dimas adalah lambang keramahan. Ia membagi roti di alun-alun, menyalakan lampu lentera saat kemarau menelan harapan, dan menulis surat balasan dengan tinta hangat kepada setiap petani yang mengadukan penderitaannya. Kecerdasannya merancang kebijakan subsidi benih jagung membuat ladang subur menari di tiup semilir angin, dan keramahannya mendekatkan bangsawan serta rakyat jelata dalam satu simfoni kedamaian.
Lalu datang Kasa Kembar: sang Viscount bernama Kaleb, tangan kanan sang Count yang berbisik lembut di telinga Raja Pusat, dan sang Adatari, Elara, penasihat politik yang melemparkan bayangan saat menyunggingkan senyum manis. Bersama sang Jenderal Aswata, mereka menukil agenda gelap untuk menggantikan Count Dimas dengan boneka kekuasaan. Malam pembunuhan itu, tamu istimewa yang dikirimi undangan terpilih menemui kematian dalam racun halus yang dituang lewat cawan anggur madu. Tubuh Dimas terkulai di lantai marmer, kerongkongan membara, dan nafasnya tertahan dalam napas terakhir yang hampir membuatnya menemui sang Pencipta.
Rakyat terbelalak ketika kabar palsu menyebar yang menyebutkan bahea Count tewas demi puisi balas budi musuh. Persembahan bunga dan lilin di halaman yang semula dipenuhi keriuhan kini meredup menunggu bayang-bayang kelabu. Namun, di balik tirai kematian, Dimas tidak menyerah. Ia diselamatkan oleh tabib gila dari desa kecil, yang meramu ramuan malam dan menyulam darahnya seperti kain lusuh. Tubuh Count terkubur di vila terpencil, diselimuti kain hitam, disusupi doa orang-orang yang tak pernah ia kenal.
Saat ia bangkit, Dimas tidak lagi sama seperti yang dulu. Hatinya terkoyak oleh pisau kefasikan para sahabatnya sendiri. Suara tawa bocah desa, yang dulu ia rangkul, kini terdengar seperti jeritan penitipan dosa. Ia meninggalkan kebun persik, membiarkan buahnya membusuk, dan menanggalkan pakaian sutra demi jubah nilon berwarna hitam, tanpa siluet emas dan permata.
Di malam bulan baru, ia kembali ke istana. Pintu gerbang terbuka bukan oleh utusan setia, melainkan oleh sorotan senjata otomatis. Pasukan bayangan dengan nama Ksatria Hitam berbaris rapi di halaman, helm mereka memantulkan cahaya api obor, menunggu komando dengan dingin. Dimas mengangkat tangan, namun bukan untuk memberi salam, melainkan perintah.
“Buka semua pintu, dan biarkan mereka meratapi nasib karena kejahatan yang telah dilakukan.”
Kasa Kembar bergetar saat terdengar dentuman kaki prajurit. Kaleb terdiam, Elara terperanjat, Aswata menunduk. Dimas melangkah menggenggam surat-surat palsu yang dulu menandatangani kematiannya. Ia membacanya keras-keras:
“Dengan ini, Count Dimas dinyatakan gagal dalam amanah. Oleh karena itu, segala hak yang telah diberikan akan dirampas.”
Mereka tidak melawan. Karena di wajah bangsawan lembut itu terpampang luka paling dalam yakni penantian gelap yang mematikan harapan.
Esoknya, istana berubah menjadi pengadilan bayangan. Kaleb diadili oleh prajuritnya sendiri, Elara meratap di ambang jurang, Aswata diikat di tiang pancang, dibiarkan meninggal perlahan seperti api merangkak di kayu bakar. Dimas berdiri mengawasi, suara hatinya berdetak sebagai saksi, mengatakan bahwa keadilan tak akan pernah lunas tanpa kemarahan.
Namun, di antara puing-puing pengkhianatan itu, Dimas masih memikul tanggung jawabnya. Ia menyambut rakyat jelata dengan satu tangan, menyodorkan benih jagung pada petani, dan menyalurkan beras dalam kantong-kantong lusuh. Setiap pagi, ia mengenang senyum bocah desa, kini matanya sembab, namun bibirnya masih mampu menebar senyum kesabaran. Ia memerintah dengan tangan besi yang tak pernah ragu menyuntikkan obat pada setiap sudut negeri yang sakit.
Suatu malam, di ruang tahta yang remang, seorang budak tua membisikkan kabar bahwa ladang di pegunungan membeku sehingga desa disana terisolasi dan kelaparan. Dimas menepuk pelan meja ukir, mengingat kembali janji-janji manisnya dahulu. Ia berdiri, menatap remukan peti miliknya, lalu berkata pada bayangan di sudut ruangan:
“Aku akan habiskan nyawa ini untuk mereka.”
Ia turun ke desa, berjalan kaki menembus kabut salju tipis, bagai lama menggali luka lamanya. Di tengah perjalanan, ia menemukan mayat bocah lelaki di tepi hutan, tangan terulur memegang guci emas. Sepertinya guci itu merupakan sisa persembahan anak-anak yang menanti kebajikan. Dimas mengumpulkan tubuh itu dan memeluknya, merasakan beratnya dosa-dosa yang harus ia pikul.
Saat fajar merekah, ia tiba di ladang palsu. Akar jagung beku, bunga musnah, dan tanah berubah menjadi kerikil. Dimas menangkup tangan kanannya, menanam gamitan benih di tanah retak. Ia mengikhlaskan darahnya sendiri sebagai pupuk. Satu tusuk pisaunya menancap, meneteskan sedikit darah suci. Ia menelan rasa perih dan menabur benih maut dengan air matanya.
Tahun berganti musim, ladang itu pun bersemi, menghasilkan jagung yang lebih subur. Rakyat pun menari-nari, memetik hasil tanpa tahu apa jenisnya. Mereka memuja Count yang lembut dan bengis, yang menumpahkan darah agar kehidupan tetap menyala.
Dalam kegemilangan panen, Dimas duduk di altar bambu, jubah hitamnya berkibar disambut angin, menatap sinar remuk yang menembus daun-daun. Ia mengangkat cawan berisi air mata dan darahnya, serta berbisik lirih:
“Noblesse oblige, kewajiban bangsawan. Aku menanggung semua dosa agar kalian bisa makan.”
Tiba-tiba, di balik tepuk tangan syukur rakyat, terdengar tangisan senar biola mengiris udara. Seorang gadis kecil muncul, memegang seruling dari kayu persik. Ia memainkan lagu sendu,
nenen-nenen, tangis bumi,
akar punah di oben-oben dingin.
Nada itu menusuk tulang Dimas, membuka selubung baja di dadanya. Ia tersadar, bahwa darah bangsawan bukan selalu soal mahkota, tapi janji yang tak akan pernah habis, janji yang membebani lebih berat daripada menenangkan pikiran.
Pada saat peluncuran pesta panen, ia meninju tongkat emasnya hingga patah. Ia menyobek kerah jubahnya, meneteskan darah ke dalam air ladang. Tanaman meluruh menjadi abu, panen layu jadi debu.
Rakyat menjerit hampa, bingung oleh keajaiban terbalik yang menghancurkan satu-satunya berkah. Dimas berdiri di tengah ladang gulita, melepaskan remuk hatinya sebagai pengorbanan terakhir.
Saat fajar menyingsing, hanya ada satu batang jagung yang tumbuh. Kaku, hitam, seperti tongkat yang patah. Di pangkalnya, tertulis satu kalimat dalam bahasa kuno:
“Kehormatan yang membeli kebahagiaan dengan kematian tidaklah abadi.”