Malaikat dari Dasar Neraka

Gang sempit itu hanya diterangi cahaya redup dari papan neon klub malam yang berkedip tak beraturan. Bau busuk bercampur alkohol basi menyambut siapa saja yang cukup nekat menjejakkan kaki di jantung distrik gelap ini, ya, sebuah tempat di mana hukum ditulis dengan darah dan dilupakan dengan peluru. Di tengah bau amis, jeritan samar, dan suara langkah terburu-buru, seorang pria paruh baya dengan jas kusut dan mata yang merah menyala berdiri memandangi lorong kecil di ujung jalan. Namanya Toshiro, dan orang-orang menyebutnya “Malaikat”.

Tapi bukan karena ia membawa keselamatan.

Ia disebut Malaikat karena setiap kali ia muncul, satu nyawa pasti melayang. Tak peduli apakah itu bandar narkoba, pelacur pengkhianat, anggota geng yang membelot, atau pejabat korup yang mengganggu jalur suplai milik tuannya. Semua disapu bersih dengan metode yang begitu rapi dan tanpa jejak, hingga bahkan polisi tak tahu apakah mereka sedang memburu manusia atau makhluk ghaib.

Toshiro dulunya adalah algojo dari klan bawah tanah Kumaguro, satu dari lima keluarga besar yang menguasai perdagangan gelap di kota pelabuhan Sagamino. Tapi setelah konflik internal yang menewaskan istri dan anaknya, Toshiro menghilang dari permukaan. Dunia mengira ia sudah mati. Padahal, ia turun lebih dalam ke dasar neraka kota ini, dan menjadi bagian dari kekuatan yang lebih gelap dari yang pernah dikenalnya.

Toshiro kini bukan sekadar pembunuh. Ia adalah pengatur eksekusi, hakim dari kegelapan, dan arsitek dari rezim baru yang tumbuh dari celah-celah keputusasaan.

Malam itu, ia tengah memburu seorang pria muda bernama Kenta, mantan informan yang menjual rahasia rute penyelundupan kepada faksi saingan tuannya. Kenta tak lebih dari anak muda naif yang berpikir bahwa uang cepat lebih penting dari kesetiaan. Ia bersembunyi di salah satu klub di distrik pelacuran, dikelilingi oleh wanita-wanita dengan senyum palsu dan aroma parfum yang menusuk hidung.

Toshiro tak butuh banyak waktu. Ia menyelinap masuk, menyamar sebagai pelanggan biasa. Matanya tak pernah salah mengenali aura ketakutan. Pria itu mendapati Kenta duduk di sofa merah, memegang botol soju yang hampir kosong, tangannya gemetar.

“Aku dengar ada anak pintar di sini malam ini,” ucap Toshiro sambil duduk di sebelahnya.

Kenta menoleh dan wajahnya langsung pucat. Ia mengenali Toshiro, semua orang di dunia bawah mengenal pria itu. “A-Aku cuma… cuma…”

“Simpan alasanmu. Aku tidak datang untuk bicara. Tapi karena kau dulu menyelamatkan salah satu anakku dari razia, aku beri kau lima menit. Lari.”

Kenta melongo, tak percaya pada kesempatan yang diberikan. Tapi tubuhnya langsung bereaksi sebelum otaknya sempat berpikir. Ia melompat keluar dari kursi dan berlari keluar, napas terengah-engah. Tapi ia tak pernah sampai ke ujung gang. Sebuah mobil berhenti dengan pintu terbuka, dan dua pria bertopeng menyeretnya masuk. Suara senapan peredam meledak dua kali, dan mobil itu pun melaju tanpa suara.

Toshiro meneguk minuman dari gelas yang ditinggalkan Kenta, lalu berjalan keluar. Ia melirik langit kota yang tak pernah gelap sepenuhnya karena selalu ada sinar palsu dari lampu-lampu yang menyembunyikan kehancuran.

Dari kejauhan, suara sirene polisi memekik. Tapi tak ada yang mengarah ke sini. Polisi sudah tahu bahwa tempat ini tak bisa disentuh. Siapa pun yang masuk tanpa izin, tak akan pernah keluar.

Sementara itu, di balik tembok baja sebuah gudang tua yang tak terdaftar di peta mana pun, sebuah rapat tengah berlangsung. Lima pria duduk melingkar, semuanya menggunakan jas mahal, namun wajah mereka penuh bekas luka dari perang jalanan dan pengkhianatan.

“Toshiro terlalu kuat. Ia tak bisa dikendalikan lagi,” ujar salah satu dari mereka, mengisap cerutunya dalam-dalam.

“Kalau begitu, kita jatuhkan dia sekarang. Kita kuasai wilayahnya sebelum dia menyapu kita satu-satu.”

“Tidak semudah itu,” ucap suara lain. “Toshiro bukan hanya sekedar manusia biasa. Dia merupakan simbol Malaikat yang lahir dari dasar kota ini. Banyak orang miskin menyembahnya. Mereka percaya dia satu-satunya yang bisa membersihkan kotoran dari sistem ini.”

Salah satu pria menggebrak meja. “Kau dengar dirimu sendiri? Kita ini pemimpin dunia bawah, bukan pemuja kultus!”

Tapi pembicaraan mereka segera terhenti saat seorang anak kecil masuk ke ruangan dengan mata terbelalak. Tubuhnya bergetar ketakutan. Di belakangnya, Toshiro berdiri dengan ekspresi datar dan jas hitamnya berlumuran darah.

“Terima kasih telah berkumpul,” ucapnya tenang. “Kalian membuat pekerjaanku lebih mudah.”

Lima detik kemudian, gudang itu terbakar habis.

Esok paginya, media melaporkan kebakaran misterius di distrik pelabuhan. Lima jasad hangus ditemukan, namun tak satu pun bisa diidentifikasi. Polisi menganggapnya kecelakaan akibat korsleting listrik.

Tapi di lorong-lorong kota, cerita lain beredar. Bahwa Malaikat dari dasar neraka telah kembali, dan tak ada yang bisa menghentikannya.

Toshiro bukan lagi bagian dari klan mana pun. Ia adalah klannya sendiri. Ia tidak menjual narkoba, tidak menyelundupkan senjata, tidak terlibat dalam prostitusi secara langsung. Tapi ia memungut pajak dari semua itu. Ia tak menjual dosa, tapi mengatur siapa yang boleh berdosa dan siapa yang harus ditebus.

Anak-anak jalanan mulai membisikkan namanya. Para pelacur menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk mengirim bunga putih di altar kecil yang dibangun di bawah jembatan tua, tempat di mana Toshiro pernah menyelamatkan seorang anak perempuan dari pembakaran hidup-hidup oleh geng saingan. Anak itu kini menjadi informan setianya.

Toshiro tahu ia bukan pahlawan. Ia pembunuh. Penjagal. Tapi dunia ini tak butuh pahlawan.

Yang dibutuhkan adalah ketertiban.

Satu hari, seorang wanita muda mendekatinya di sebuah bar tua. Wajahnya penuh luka, matanya menyimpan dendam. Ia memperkenalkan diri sebagai Reina, anak dari salah satu korban pengkhianatan klan dulu. Ia ingin bergabung dengannya. Bukan karena ia percaya, tapi karena ia ingin membalas dendam pada sistem yang menghancurkan keluarganya.

Toshiro mengamati gadis itu cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Kalau kau siap mati, ikutlah besok. Kita akan mulai membersihkan markas polisi distrik.”

Reina mengangguk tanpa ragu. Dan sejak hari itu, Toshiro tidak sendiri lagi.

Mereka memulai pembersihan. Bukan dengan ledakan dan perang terbuka, tapi dengan data, ancaman, dan kebocoran informasi. Kepala polisi ditangkap karena korupsi. Seorang jaksa bunuh diri setelah videonya dengan pelacur bocor ke publik. Perlahan, satu per satu pondasi kekuasaan resmi runtuh. Dan saat kekacauan memuncak, hanya satu nama yang diserukan oleh orang-orang, Toshiro.

Ia berdiri di tengah reruntuhan, matanya tajam menatap cakrawala. Dosa-dosanya terlalu banyak untuk diampuni. Tapi bukan itu tujuannya. Ia bukan mencari pengampunan. Ia hanya ingin dunia ini takut akan ketidakadilan, sama seperti anak kecil yang pernah menggenggam tangan jenazah keluarganya di malam bersalju.

Toshiro adalah malaikat. Tapi bukan dari surga.

Ia lahir dari dasar neraka.

Ditulis Oleh:

Apa yang ingin anda cari?