Tidak ada yang menyangka bahwa kehancuran Ordo Sihir Tertinggi di Menara Aetheris akan datang bukan dari iblis, bukan dari para penyihir gelap, melainkan dari seorang pria yang bahkan tak mampu mengucapkan satu pun mantra.
Pria itu bernamanya adalah Ravier.
Dia bukan siapa-siapa di mata para bangsawan sihir. Ia tak dilahirkan dari garis darah penyihir, tidak memiliki inti mana, dan tak pernah menyentuh tongkat sihir. Tapi dalam senyap, ia membangun kekuatannya. Bukan dari mantra atau takdir langit, melainkan dari logika, mesin, dan kabel-kabel logam yang menjalar di bawah tanah kerajaan.
Ravier adalah teknokrat pertama dan terakhir di tanah yang menyembah sihir sebagai agama.
Ia datang ke ibu kota sebagai budak tawanan dari wilayah perbatasan utara yang baru saja ditaklukkan. Saat itu, para penyihir menganggapnya remeh. Mereka memandangnya sebagai anak lelaki kurus dengan mata seperti baja beku, yang bekerja membersihkan ruang bawah tanah perpustakaan sihir. Namun mereka tak tahu bahwa setiap malam, ia membaca, menghafal, mencuri ilmu yang bahkan para penyihir sendiri lupakan karena terlalu terpaku pada kekuatan magis.
Sementara para Archmage sibuk bertengkar soal etika penggunaan sihir darah, Ravier menyusun cetak biru sistem energi uap yang mampu menggantikan fungsi kristal mana. Ketika para bangsawan sibuk mengatur perjodohan untuk memperkuat aliansi politik mereka, Ravier menyusup ke jaringan komunikasi sihir menggunakan menara logam raksasa rakitannya sendiri.
Perang antara sains dan sihir tak pernah diumumkan.
Ia hanya meledak dalam satu malam.
Istana Sihir runtuh pada malam purnama biru, ketika langit seharusnya tenang dan aula utama tengah merayakan Perayaan Pemurnian. Di tengah pesta yang bermandikan cahaya sihir dan irama harpa, salah satu menara meledak. Asap hitam menjulang, dan alarm magis berbunyi kacau. Para penyihir sibuk merapal mantra perlindungan, tapi tak ada satupun yang bisa menahan hujan peluru baja dari langit.
Perangkat terbang tanpa sayap, kendaraan tempur bertenaga uap, dan prajurit dengan senapan api meledakkan pertahanan magis yang telah berdiri tegak selama ratusan tahun. Para High Archmage terbakar hidup-hidup di balik penghalang sihir mereka sendiri.
Di tengah kekacauan itu, Ravier melangkah masuk ke aula utama.
Ia mengenakan mantel panjang dari kulit sintetis, helm logam berkilau, dan tangan kanannya berupa mesin berlapis tembaga. Sebuah maha karya yang memberikan bekas luka dari percobaan pertamanya sehingga menciptakan generator anti-mana. Matanya tajam, dingin, dan penuh ambisi.
“Selamat malam, para pemuja ilusi,” katanya. “Sudah saatnya kalian dihancurkan oleh kenyataan.”
Archmage tertua, seorang wanita yang wajahnya abadi karena sihir, maju ke depan. “Kau melawan kehendak para dewa. Dunia ini dibentuk oleh sihir. Tanpa sihir, tak ada peradaban!”
Ravier tertawa pelan. “Dunia ini tak dibentuk oleh sihir. Ia dibentuk oleh rasa takut. Kalian menjadikan sihir sebagai alat penindasan. Dan sekarang, alat itu ditinggalkan dan menjadi kenangan masa lalu.”
Dengan isyarat kecil, seluruh sistem sihir di istana lumpuh. Kristal mana retak. Tongkat sihir mencair. Para penyihir tak bisa merapal mantra. Mereka berdiri telanjang tanpa kekuatan.
Ravier telah menyusupkan virus teknologi ke dalam jaringan sihir. Sebuah program yang ia sendiri menyebutnya degnan Manabolt Nullifier. Sebuah program yang mengubah arus mana menjadi gelombang panas hingga semua instrumen magis meledak dari intinya.
Namun, tidak semua penyihir mati karena serangan itu.
Di ruang bawah tanah, seorang gadis muda bernama Elsera, murid termuda dari Ordo Penjaga Cahaya, menyaksikan semua itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak membenci Ravier, tapi tidak bisa menerima dunia tanpa sihir.
“Jika kau membunuh semua sihir,” katanya ketika akhirnya bertemu Ravier dalam ruang tahta, “apa yang tersisa dari dunia ini?”
“Yang tersisa adalah kebebasan,” jawab Ravier. “Kebebasan untuk tidak lagi takut pada kasta yang diciptakan oleh hierarki sihir, kebebasan untuk menciptakan hal-hal baru tanpa izin dari para penjaga kitab sihir kuno. Sihir adalah dogma. Aku ingin membakar dogma itu sampai jadi debu.”
Elsera menggigil, bukan karena takut, tapi karena ia bisa melihat sesuatu dalam mata lelaki itu. Sebuah luka yang dalam. Sebuah kesedihan yang tersembunyi di balik ambisi.
“Kau tidak membenci sihir,” bisiknya. “Kau hanya ingin diselamatkan. Tapi tak ada yang datang, bukan?”
Ravier tak menjawab.
Lima belas tahun lalu, ia menyaksikan ibunya dibakar hidup-hidup oleh penyihir karena dianggap menyimpan buku terlarang. Ia bersembunyi di bawah papan lantai rumah. Ia mencium bau daging terbakar. Ia mendengar teriakan ibunya. Dan para penyihir itu tertawa melihat manusia yang ada dihadapannya berteriak kesakitan.
Hari itu, ia bersumpah bahwa ia tidak akan pernah menangis, tidak akan pernah memohon, dan tidak akan pernah memaafkan.
Setelah kudeta, Ravier membentuk Pemerintahan Baru bernama Dewan Teknokratik yang menggantikan Majelis Tinggi Sihir. Ia membangun sekolah teknik untuk anak-anak yatim. Pabrik-pabrik menggantikan menara-menara sihir. Tapi dunia tidak bisa berubah semudah itu.
Kelaparan melanda karena sistem pertanian sihir runtuh. Udara memburuk karena pembakaran batu bara. Dan rakyat mulai rindu akan keajaiban sihir.
“Elsera,” kata Ravier suatu malam, menatap bintang dari balkon. “Mungkin aku telah menjadi monster yang lebih buruk dari mereka.”
“Kau bukan monster,” jawab Elsera. “Kau hanya manusia yang terlalu lama hidup dalam kegelapan.”
Ia menatap Ravier, lalu berkata dengan lembut, “Izinkan aku mengajarkanmu sihir. Bukan untuk membunuh, tapi untuk menyembuhkan. Bukan untuk merusak, melainkan untuk menyelamatkan. Dunia ini bisa memiliki keduanya, sihir dan logika. Tapi hanya jika kau mau berhenti untuk membalas dendam.”
Untuk pertama kalinya, Ravier tak bisa menjawab. Matanya berkaca, bukan karena sedih, melainkan karena ia merasa… lelah.
Lima tahun setelah kudeta, Istana Sihir dibangun ulang, bukan sebagai pusat kekuasaan, tapi sebagai tempat belajar ilmu sihir dan teknologi, keduanya diajarkan secara berdampingan. Ravier tak lagi memimpin. Ia menghilang, katanya ingin menemukan tempat yang jauh dari dunia.
Namun bagi banyak orang, Ravier tetap legenda.
Dia adalah pria tanpa sihir yang mengalahkan seluruh dunia sihir.
Dia adalah sang teknokrat.
Dan kudetanya tercatat sebagai peristiwa paling berdarah, paling kontroversial, dan paling menentukan dalam sejarah tanah sihir.