Darah kering menempel di pelat baja yang retak di dadaku. Pedang patah kugenggam erat di tangan kanan, sementara tangan kiri sudah tak lagi bisa kugerakkan. Di sekelilingku, tubuh-tubuh para saudaraku tergeletak tak bernyawa, sebagian hangus terpanggang, sebagian terbelah. Tanah yang dulu kami bela kini tak lebih dari ladang pembantaian. Dan aku… aku adalah satu-satunya yang tersisa.
Namaku Cedric dari Klan Peninsula. Anak bungsu dari tujuh bersaudara, tak dianggap penting dalam rapat perang, tak pernah diundang dalam jamuan kerajaan. Namun kini, setelah ibu kotaku jatuh, setelah menara pengawas runtuh, dan setelah suara terompet terakhir diredam oleh dentuman trebuchet musuh, aku menjadi satu-satunya warisan dari sebuah bangsa yang pernah menolak tunduk pada kekaisaran.
Klan Peninsula bukan klan besar, tapi kami dikenal sebagai tulang belakang pasukan pertahanan timur. Leluhur kami menghalau dua invasi dari bangsa Laut Selatan dan satu dari suku Gunung Es. Kami keras kepala, kata sebagian orang. Sebagian yang lain menyebut kami dengan kata fanatik. Tapi bagiku, kami hanya terlalu mencintai tanah ini untuk menyerahkannya kepada orang lain.
Tiga hari lalu, tembok terakhir kota Valen runtuh. Pemimpin tentara Kekaisaran Nordland, Jenderal Ulbricht, membawa pasukan elite dengan senjata peledak dari benua timur. Mereka membakar ladang kami, memenggal kepala pemimpin kami, dan menancapkan panji mereka di alun-alun tengah. Aku menyaksikan semua itu dari balik reruntuhan, dengan dada sesak oleh kebencian dan luka yang terus mengucur.
Malam hari setelah kekalahan, aku menyeret tubuhku ke kapel tua di sisi utara kota. Di sana, pada altar tempat kami biasa menyanyikan pujian perang, aku menemukan jubah ksatria tua milik ayahku yang dulu diletakkan disana ketika ia pensiun. Aku mengenakannya, meski kainnya terkoyak dan besinya karatan. Aku berlutut, bukan untuk berdoa, tapi untuk bersumpah.
“Aku, Cedric dari Klan Peninsula, bersumpah di atas tanah nenek moyangku. Tidak akan kututup mata sebelum Ulbricht mati dan panji kekaisaran tercabik-cabik.”
Keesokan harinya aku mulai berjalan. Tak ada kuda, tak ada senjata yang layak. Hanya tombak karatan dan luka yang terus berdarah. Aku berjalan menembus hutan, melewati puing-puing perkampungan yang telah dibakar. Setiap desa yang kulewati, kutemui wajah-wajah yang menyembunyikan ketakutan di balik pintu tertutup. Mereka mengenal lambang di jubahku. Mereka tahu aku sudah kalah. Tapi mereka juga tahu: selama masih ada satu ksatria yang berjalan dengan panji Peninsula, harapan belum sepenuhnya mati.
Di desa ketiga, aku bertemu seorang pandai besi tua bernama Varek. Ia kehilangan anaknya dalam pertempuran terakhir.
“Kalau kau mau balas dendam, jangan pakai besi karatan itu,” katanya sambil menunjuk tombakku. “Ambil ini.”
Ia menyerahkan sebilah pedang lebar, berat, dengan ukiran lambang Peninsula di gagangnya.
“Itu dulu milik komandan Andros. Kupendam di bawah lantai saat pasukan Nordland masuk. Sekarang pedang itu milikmu. Gunakan dengan baik”
Aku tak bisa membalas dengan kata-kata. Aku hanya mengangguk dan menggenggam pedang itu seolah darah Andros kini mengalir dalam nadiku.
Perjalananku membutuhkan waktu tujuh hari menuju utara, tempat Ulbricht membangun kamp utamanya di benteng tua Ardewyn. Selama perjalanan, kudengar cerita-cerita dari rakyat jelata: anak-anak dijadikan budak, gadis-gadis diambil paksa untuk melayani para perwira, petani dipaksa menyerahkan hasil panen dengan todongan tombak. Kekaisaran tak membawa perdamaian seperti yang mereka janjikan. Mereka membawa rantai besi perbudakan.
Ketika aku mencapai gerbang barat Ardewyn pada malam ke-8, aku sudah kehilangan banyak darah. Tapi mataku tetap menatap lurus. Aku berjalan sendirian ke arah penjaga, menunjukkan wajah yang tak lagi takut mati.
“Aku datang untuk menantang Jenderal Ulbricht dalam duel kehormatan!” teriakku dengan suara serak.
Mereka tertawa. Salah satu dari mereka menendangku hingga tersungkur. Tapi saat pedangku menebas leher penjaga pertama, tawa itu berubah menjadi teriakan.
Dalam hitungan menit, aku dikerumuni dua lusin penjaga. Aku tidak melawan mereka untuk menang. Aku hanya ingin cukup berisik untuk membuat Ulbricht keluar. Dan benar saja, setelah tubuhku tertatih dan bajuku robek oleh tombak, seorang lelaki tinggi dengan baju besi perak dan jubah merah keluar dari tenda utama.
“Jadi ini sisa dari Peninsula yang menyedihkan itu?” katanya sambil menyeringai. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk mati di depanku?”
Aku berdiri meski tubuhku gemetar.
“Aku datang membawa darah seluruh klan yang kau bunuh. Aku datang membawa dendam seluruh rakyat yang kau tindas. Aku datang sebagai Cedric, ksatria terakhir dari Peninsula.”
Ulbricht tertawa. Tapi ia tahu apa arti duel kehormatan di tanah ini. Jika ia menolak, desas-desus pengecut akan menghantui namanya. Maka ia mengangguk, dan kerumunan menjauh.
Kami bertarung di tengah lapangan. Aku kalah tinggi, kalah kuat, kalah stamina. Tapi aku punya satu hal yang tak dimiliki Ulbricht, aku tak takut untuk kehilangan segalanya.
Serangan demi serangan ku lancarkan kepada musuhku. Kendati seranganku tak rapi dan memiliki banyak celah. Tapi setiap tebasan yang ku tujukan pada Ulbricht penuh dengan kemarahan. Mujurnya Ulbricht meremehkanku, hingga akhirnya aku berhasil melukai pahanya. Ia terkejut. Dan di saat itulah, ketika ia ragu sepersekian detik, kutusukkan pedang Andros tepat ke bawah pelindung dadanya.
Tubuh Ulbricht roboh.
Tak ada sorak kemenangan. Hanya sunyi. Para penjaga menatap mayat pemimpin mereka dan padaku, yang kini berdiri dengan tubuh berlumur darah.
“Aku tak akan menyerang kalian, aku tak akan memperbudak kalian,” kataku pelan. “Tapi pulanglah. Kembalilah ke tanah kalian dan tinggalkan tanah ini.”
Tak satu pun bergerak. Tapi perlahan, satu per satu menjatuhkan senjata mereka. Mungkin karena rasa hormat, mungkin karena takut. Aku tak peduli.
Dua hari kemudian, pasukan Nordland mundur. Mereka membawa mayat Ulbricht, meninggalkan benteng dan kota yang mereka rebut dengan darah. Aku tak disambut oleh rakyat, aku tak pula mengklaim tahta. Aku hanya kembali ke reruntuhan kapel di Valen, melepas jubahku, dan duduk di altar.
Meskipun Peninsula hancur. Tapi kehormatannya akan tetap hidup. Meskipun hanya satu ksatria yang tersisa, dunia akan tahu bahwa kami tak pernah tunduk. Meskipun kota kami hancur, catatan sejarah dari bangsa lain akan mengenang kami. Klan Peninsula adalah klan yang berisikan para pejuang berani mati demi keluarganya, demi rekan seperjuangannya, dan demi kehormatannya.
Aku, Cedric, ksatria terakhir dari Klan Peninsula. Aku bukan pahlawan. Aku hanya orang yang menolak melupakan asal-usulnya. Dan itu cukup untuk mengubah akhir dari sebuah sejarah.
Hingga nafas terakhir ku hembuskan di bawah atap kapel yang telah usang. Entah akan ada orang yang mengurus jasadku atau tidak, tetapi satu hal yang pasti. Sumpahku didepan altar telah terpenuhi.