Kabut musim gugur menyelimuti ibu kota Kekaisaran Schweetz saat lonceng menara berdentang dua belas kali. Kota bergeming, namun tak ada yang tahu bahwa di balik jendela kaca patri Istana Agung Levia, sang Kaisar tengah bersimpuh dalam doa, bukan pada Tuhan, melainkan pada dosa-dosanya sendiri.
Kaisar von Schweetz, seorang lelaki paruh baya dengan mata kelabu dan wajah penuh garis penderitaan, dikenal sebagai pemersatu benua barat. Di bawah kekuasaannya, puluhan kerajaan jatuh satu per satu, tunduk pada panji hitam bergambar elang emas berekor tiga. Ia adalah simbol keagungan bagi sebagian orang, dan malaikat kematian bagi sebagian besar lainnya.
Namun tidak ada yang tahu bahwa setiap malam, dalam sunyi ruang pribadinya, Kaisar menangis dalam diam.
Ia membayangkan kembali wajah-wajah yang hilang dalam perang. Desa-desa yang dibakarnya demi membungkam perlawanan para oposisi. Para ilmuwan yang digantung di alun-alun karena berani menentangnya. Dan satu wajah yang paling menyiksanya tak lain adalah Ratu Elenora dari wilayah Selatan, ia adalah wanita yang dicintainya namun ia sendiri yang memerintahkan kematiannya.
“Satu bangsa harus berdiri di atas tumpukan abu,” katanya waktu itu, saat para jenderalnya meragukan keputusan menyerbu Selatan. “Jika aku harus kehilangan cinta, demi kejayaan abadi, maka biarlah aku jadi iblis.”
Tahun-tahun berlalu, dan kejayaan itu kini mulai membusuk secara perlahan. Kekaisaran yang dibangunnya mulai mengalami keropos dari dalam. Wilayah timur mulai melancarkan memberontak. Para bangsawan saling berkhianat. Seluruh keturunan dari pernikahan politiknya saling bertarung memperebutkan tahta. Meskipun mereka bersaudara tetapi keserakahan dan keegoisan mereka akan kekuasaan mereka buta dengan saudara sendiri.
“Ini bukan lagi sebuah kekaisaran yang berjaya,” bisik Kaisar suatu malam pada pelayan setianya, Yakumo. “Ini adalah rumah hantu bobrok yang tak layak dipertahankan. Aku membangun sebuah makam besar dan menyebutnya sebagai negeri.”
Yakumo tidak menjawab. Ia tahu tak ada kata yang bisa menyelamatkan pria itu dari kejatuhannya sendiri.
Namun dosa yang paling menyakitkan dari semua itu bukanlah perang. Bukan pembantaian. Bukan pengkhianatan terhadap cinta. Dosa terbesar von Schweetz adalah pada darahnya sendiri.
Tiga puluh tahun yang lalu, sebelum menjadi Kaisar, ia adalah Adipati Muda wilayah Alpen, dan diam-diam mencintai seorang wanita penghibur dari distrik bordil kecil di kota pelabuhan. Disuatu malam mereka di tepi danau tak jauh dari tempat wanita itu bekerja. Disanalah Kaisar bersama wanita penghibur itu memadu cinta dalam indahnya sinar rembulan. Seolah sang dewi tengah memberkati mereka. Benar saja, wanita itu mengandung anak sang Kaisar, namun untuk menyelamatkan karier politik, von Schweetz menyingkirkannya secara diam-diam.
Anak itu tumbuh sebagai budak, berpindah tangan dari satu tuan ke tuan lain, hingga akhirnya lenyap dari catatan sejarah.
Kini, kabar menyebar cepat di kalangan istana. Seorang pemuda misterius memimpin pemberontakan di wilayah Timur dengan bendera putih dan merah, simbol lama kerajaan yang dahulu ditaklukkan von Schweetz. Pemuda itu bernama Kazan.
Kazan, yang bergerak cepat seperti bayangan, dikenal sebagai “Putra Tanpa Darah”. Dalam dua bulan, ia menaklukkan tujuh benteng. Taktik perangnya mirip… terlalu mirip dengan doktrin militer lama milik von Schweetz sendiri.
“Ayah,” katanya dalam pesan rahasia yang dikirim lewat prajurit yang ditangkap dan dilepaskan. “Hari penghakiman akan datang. Bukan oleh para dewa, tapi oleh darahmu sendiri.”
Kaisar terdiam. Surat itu dipegangnya erat, lalu dibakar di dalam mangkuk emas. Ia tidak menyangkal. Ia tahu darah itu memang miliknya. Ia tahu Kazan adalah reinkarnasi dari semua dosa yang dulu ia buang tanpa penyesalan.
Malam itu, Kaisar memerintahkan pemanggilan seluruh penasihat dan panglima. Ia duduk di takhta dengan jubah hitam beraksen perak. “Siapkan pasukan. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan ke arah Timur. Mari kita selesaikan pemberontakan sialan.”
Semua menunduk, takut membantah.
Perjalanan menuju Timur memakan waktu dua minggu. Di sepanjang jalan, desa-desa yang dulu bersumpah setia pada Kaisar kini menutup gerbang. Tak ada sambutan, tak ada sorakan, hanya kehampaan yang menerpa pasukan Kekaisaran. Saat kaisar melewati jalan-jalan yang dulu dibasahi darah musuhnya, kini ditumbuhi bunga liar dan senyap. “Akankah darahku akan tumpah disini, ataukah di tempat lain?”
Kedua pasukan bertemu di lembah Eris. Sebuah lembah subur yang berada di perbatasan wilayah Tengah dengan wilayah Timur Kekaisaran. Pasukan Kekaisaran berjumlah 100.000 orang lengkap dengan alutsista terbaik seantero Kekaisaran. hal ini berbanding terbalik dengan pasukan Kazan. Pria itu membawa 31.300 personil dengan peralatan seadanya.
Meskipun pasukan Kazan tak sebanding secara jumlah, namun keberanian mereka membuat barisan Kekaisaran porak-poranda. Dalam waktu dua malam saja, ada tiga komandan gugur. Kazan muncul dengan baju besi tua, lusuh, tapi matanya tajam seperti von Schweetz saat muda dulu.
Pertemuan ayah dan anak di puncak bukit terjadi tanpa pengawal.
“Kau tahu siapa aku,” kata Kazan, menodongkan pedang ke arah sang Kaisar.
“Aku tahu,” jawab von Schweetz. “Kau adalah bayanganku, yang kutinggalkan di dasar neraka.”
“Lalu mengapa kau datang sendiri?”
“Karena hanya aku yang pantas mengakhiri ini.”
Seolah gulungan takdir telah terbuka. Keduanya mulai memasang kuda-kuda. Sorot mata yang tajam. Genggaman kuat pada gagang pedang yang terhunus kearah musuh. dan pertarungan ayah dan anak pun terjadi. Tidak megah. Tidak heroik. Dua sosok bertarung seperti manusia biasa. Pedang saling beradu, napas memburu, darah menetes. Di akhir duel, dengan nafas yang masih terengah-engah, von Schweetz menusukkan pedang ke tanah.
“Aku menyerah, Kazan.”
Kazan terdiam, gemetar. “Apa yang bajingan sepertimu harapkan? Ampunan?”
“Tidak. Hanya agar kau tidak menjadi aku.”
Kazan menjatuhkan pedangnya. Air mata membasahi wajahnya. Ia menang, tapi rasa itu tak seperti yang ia bayangkan. Dendamnya memang sudah tuntas, namun jiwanya tak terasa lebih ringan.
Von Schweetz ditangkap, dibawa ke hadapan rakyat yang dulu selalu ia injak. Ia pun diadili bukan sebagai Kaisar, tapi sebagai seorang kriminal yang tak ubahnya seperti rakyat biasa. Kesaksian mengalir dari satu orang ke orang lainnya, dosa-dosa yang selama ini terkubur kini mencuat seperti banjir lumpur.
Di akhir persidangan, von Schweetz berdiri, menatap rakyatnya yang terbakar oleh kebencian. “Aku adalah monster, aku adalah iblis. Tapi kalianlah yang membesarkanku. Jika dosa ini abadi, maka biarlah aku dikenang sebagai peringatan bahwa kebenaran tanpa belas kasih hanya akan melahirkan kekejaman.”
Ia dieksekusi di menara yang sama tempat ia dinobatkan tiga puluh tahun lalu.
Dengan lenyapnya sang Kaisar, Kekaisaran Schweetz pun runtuh.
Namun nama von Schweetz tidak hilang. Ia menjadi simbol yang dikenang oleh masyarakat sebagai iblis, sebagian lagi mengasosiasikannya sebagai monster. Dan Kazan, sang putra yang dulu dibuang, membangun negeri baru, sebuah negeri yang tidak dibangun dengan pedang, melainkan dengan ingatan.
Semua itu agar dosa abadi yang sama tidak terulang.