Noblesse Oblige
Danton Shop – Dedaunan maple di halaman istana berjatuhan seperti jeritan sunyi, menandai pagi yang sama sekali tak lagi asing bagi Count Dimas Ardhana. Dahulu, cahaya mentari memantul di mutiara mahkota yang dikenakannya, tapi kini
Danton Shop – Dedaunan maple di halaman istana berjatuhan seperti jeritan sunyi, menandai pagi yang sama sekali tak lagi asing bagi Count Dimas Ardhana. Dahulu, cahaya mentari memantul di mutiara mahkota yang dikenakannya, tapi kini
Danton – Di sudut kota yang jarang terjamah, berdiri sebuah rumah dengan cat yang mengelupas, jendela berdebu, dan pintu yang selalu setengah terbuka, seolah mengundang siapa saja yang berani melangkah masuk. Di dalamnya, lorong-lorong sempit
Di balik tembok-tembok tinggi pabrik tua yang tak terurus di pinggiran Surabaya, berdiri sebuah kekaisaran bayangan yang tak pernah tercatat dalam sejarah resmi. Mereka menyebut dirinya sebagai “Noblesse”, kerajaan bawah tanah yang menguasai dunia gelap
Gang sempit itu hanya diterangi cahaya redup dari papan neon klub malam yang berkedip tak beraturan. Bau busuk bercampur alkohol basi menyambut siapa saja yang cukup nekat menjejakkan kaki di jantung distrik gelap ini, ya,
Siang itu, di sudut kota yang selalu tampak sibuk di permukaan, kendaraan berseliweran dan manusia lalu-lalang seolah dunia berjalan biasa saja. Tapi jauh di bawah kaki mereka, di lorong-lorong tua peninggalan zaman kolonial yang kini
Di antara reruntuhan dunia yang pernah hijau, hamparan baja berkarat dan rangka-rangka logam menyelimuti ladang yang kini lebih mirip kuburan mesin. Asap tipis masih mengepul dari beberapa robot yang baru saja mati, tubuh-tubuh logam mereka
Tidak ada yang menyangka bahwa kehancuran Ordo Sihir Tertinggi di Menara Aetheris akan datang bukan dari iblis, bukan dari para penyihir gelap, melainkan dari seorang pria yang bahkan tak mampu mengucapkan satu pun mantra. Pria
Kabut musim gugur menyelimuti ibu kota Kekaisaran Schweetz saat lonceng menara berdentang dua belas kali. Kota bergeming, namun tak ada yang tahu bahwa di balik jendela kaca patri Istana Agung Levia, sang Kaisar tengah bersimpuh
Langit di atas benua Arven retak seperti kaca pecah. Cahaya keunguan menjalar dari celah dimensi yang terbuka, memancarkan kilatan petir yang menari laksana sebuah cambuk raksasa. Hari itu, langit tak lagi biru, dan bumi bergetar
Orang-orang menyebutku Penjaga Gerbang, seakan aku ini dewa pelindung batas semesta. Padahal, aku cuma manusia. Aku adalah Rael, seorang manusia yang tidak punya pilihan selain berdiri sendirian di tengah badai kekacauan antardimensi yang terus menggeliat