Anak Haram Sang Saintess

Hujan deras turun ketika aku lahir. Bukan hujan biasa melainkan hujan api, meteor kecil yang menyambar ladang-ladang dan menggulung hutan dalam nyala merah yang mendesis. Malam itu, suara lonceng kuil tak berhenti berdentang, dan para pendeta berlarian panik di antara pekarangan kuil suci Entheria.

Di tengah hiruk pikuk itu, seorang perempuan muda menjerit dari dalam ruang ritual. Tubuhnya gemetar, kain putihnya bernoda darah, dan di depannya, seorang bayi mungil menangis dengan suara yang lebih nyaring dari lonceng apa pun. Bayi itu adalah aku.

Ibuku adalah Saintess Eleyn. Wanita suci pilihan Dewa Cahaya, pemegang kitab wahyu, dan satu-satunya manusia yang pernah berbicara langsung dengan entitas ilahi. Dalam hukum tertinggi Gereja, seorang Saintess tidak boleh bersentuhan dengan pria. Hukum Gereja meyakini bahwa jiwa dan raga seorang Saintess adalah milik langit, ia akan menjadi perawan abadi dan menjadi lambang kemurnian serta mercusuar keimanan.

Namun kenyataannya, di balik selubung jubah putih dan senyuman surgawi, Eleyn adalah seorang ibu. Dan aku adalah bukti dosanya.

Tak ada yang tahu siapa ayahku. Ibuku tak pernah menyebut namanya. Mungkin seorang ksatria, mungkin pendeta tinggi, tidak menutup kemungkinan seorang bajingan yang menyelinap ke dalam kuil saat malam hari. Tapi semua itu tak penting. Yang penting adalah satu kenyataan pahit: aku adalah anak yang tidak diinginkan.

Demi menyelamatkan reputasinya dan mempertahankan keseimbangan Gereja, para tetua memutuskan satu hal, aku harus disingkirkan. Tapi membunuh bayi dari Saintess akan membawa murka para dewa. Jadi mereka melakukan sesuatu yang lebih keji: membuangku dalam keranjang ke sungai yang mengalir ke luar batas kota suci.

Aku hanyut selama tiga hari tiga malam, sampai akhirnya ditemukan oleh seorang penggembala tua bernama Rhud. Ia membawaku ke gubuk kecil miliknya di wilayah barat, pria tua merawatku seperti anaknya sendiri dan memberiku nama Lior.

Aku tumbuh besar di antara bukit dan domba. Tapi sejak kecil aku tahu aku berbeda. Aku bisa merasakan cahaya. Bukan sekedar metafora belaka, melainkan secara nyata. Aku bisa melihat energi mengalir di udara, luka yang ku sentuh bisa sembuh seketika, aku bisa membaca isi hati orang hanya dari tatapan mereka. Rhud menyebut kemampuanku sebagai kutukan. Tapi dalam hatinya, ia mengetahui satu hal, darah suci mengalir dalam nadiku.

Saat aku berumur dua belas, para ksatria suci datang ke desa. Mereka mencari “anak haram dari wanita pendosa,” begitu mereka menyebutnya. Ibuku telah menghilang, ucap mereka. Ia tak pernah kembali ke kuil setelah malam pengakuan dosa. Mereka curiga ia mencariku.

Malam itu, desa dibakar. Rhud mati dengan panah di lehernya saat melindungiku. Aku lari, tubuh kecilku meringkuk di antara puing-puing dan semak belukar. Aku melihat dengan mata sendiri bagaimana para prajurit Tuhan membakar rumah-rumah dengan salib di dada dan senyum di bibir.

Sejak malam itu, aku tak lagi menjadi bocah. Aku menjadi sebuah bayangan.

Selama enam tahun aku hidup dalam bayang-bayang, berpindah-pindah dari kota ke kota, menyembuhkan orang secara diam-diam, mencuri makanan, belajar membaca dari kitab-kitab tua yang kutemukan di reruntuhan kuil. Satu hal menggerogoti pikiranku setiap malam, kenapa ibuku tidak mencariku?

Ketika aku berumur delapan belas, aku kembali ke kota suci Entheria. Tempat semua ini dimulai. Kuil raksasa yang menjulang di tengah kota masih seperti dulu, megah, putih, dan menyesakkan. Tapi wajah para imam sudah berubah. Dan di salah satu mural besar di dinding luar, aku melihat sosok wanita berjubah putih dengan lingkaran cahaya di kepalanya. Di bawahnya tertulis: “Saintess Eleyn, Sang Pengkhianat Ilahi.”

Mereka telah menodai namanya.

Malam itu aku menyelinap ke ruang catatan rahasia di bawah kuil. Di sana aku menemukan dokumen-dokumen tua, surat-surat pengasingan, dan sebuah pengakuan tertulis milik Eleyn.

“Anakku, jika kau membaca ini, berarti kau telah bertahan. Aku tidak bisa mencarimu, karena Gereja membungkamku. Mereka mengurungku di ruang doa yang tak terjamah, dan menyuntikku dengan ramuan bisu. Tapi aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Kau adalah cahaya yang Tuhan sendiri titipkan padaku—dan mungkin… kau adalah akhir dari semua ini.”

Aku tak tahu apa maksud “akhir dari semua ini,” tapi saat kututup surat itu, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Keesokan harinya, aku naik ke altar utama saat upacara suci tengah berlangsung. Ribuan umat berlutut, para imam berdiri di barisan depan, dan aku—anak haram dari wanita pendosa—berdiri di tengah-tengah mereka semua.

“Aku Lior, anak dari Saintess Eleyn. Aku tidak datang membawa kutukan. Aku datang membawa kebenaran!”

Gema suaraku membelah kerumunan. Ketika mereka menyuruh penjaga menangkapku, aku mengangkat tangan. Cahaya putih menyilaukan meledak dari telapak tanganku, dan semua yang ada dalam ruangan membeku. Bukan karena takut, tapi karena keajaiban itu… murni. Tak terbantahkan. Itu adalah kekuatan Ilahi.

Aku berjalan ke altar, berdiri di tempat yang dulunya milik ibuku.

“Dalam tubuhku mengalir darah wanita suci. Kalian menyebutnya pengkhianat, tapi kalian tak pernah tahu apa yang ia korbankan untuk mempertahankan cahaya ini. Gereja kalian telah rusak. Ini bukan lagi rumah Tuhan. Ini rumah para pengecut yang menutupi kebenaran dengan sutra dan emas!”

Sebagian umat menangis. Sebagian imam berlutut. Hanya satu yang maju dan mengangkat pedangnya ke arahku—Uskup Agung Tyber.

“Setan! Kau bukan pewaris Eleyn. Kau adalah iblis yang menyamar!”

Pedangnya terayun, tapi tak pernah menyentuhku. Karena tepat saat itu, cahaya dari langit menembus kubah kuil dan menghantam lantai antara kami. Tyber terpental. Dan suaraku bergema lagi.

“Aku bukan malaikat. Aku bukan iblis. Aku hanya anak yang sengaja dibuang dan sekarang aku kembali untuk menghancurkan Gereja yang telah membunuh ibuku.”

Kekacauan terjadi. Umat bangkit, para penjaga menyerang, dan dalam beberapa jam, kuil terbesar Entheria menjadi lautan api. Tapi dari api itu, aku keluar, membawa kitab suci lama yang kutemukan di bawah altar—kitab yang menunjukkan ajaran sejati, sebelum Gereja memutarbalikkannya demi kekuasaan.

Hari ini, aku bukan lagi anak haram. Aku adalah pemimpin gerakan baru—Ordo Cahaya Murni. Aku tak memaksa orang menyembahku, aku hanya ingin mereka tahu bahwa kebenaran tidak lahir dari altar, tapi dari keberanian untuk melawan kebohongan.

Dan di setiap kota yang kami datangi, di setiap desa yang dahulu tertindas oleh salib dan pedang tentara Gereja, aku hanya berkata satu hal:

“Namaku Lior. Dan aku anak dari Saintess Eleyn.”

Ditulis Oleh:

Apa yang ingin anda cari?