Penjajah dari Bawah Tanah

Siang itu, di sudut kota yang selalu tampak sibuk di permukaan, kendaraan berseliweran dan manusia lalu-lalang seolah dunia berjalan biasa saja. Tapi jauh di bawah kaki mereka, di lorong-lorong tua peninggalan zaman kolonial yang kini tak tercatat di peta, sebuah peradaban lain berkembang dalam suatu yang gelap, brutal, dan tak tersentuh hukum. Di sanalah mereka berada, orang-orang yang menyebut diri mereka “Penjajah dari Bawah Tanah.”

Salah satu di antara mereka adalah Kazuto, pria paruh baya dengan tatapan tajam yang mampu membekukan siapa pun yang menatapnya. Wajahnya dihiasi bekas luka lama, dan tangannya penuh dengan jaringan parut hasil perkelahian bertahun-tahun. Ia adalah otak di balik sistem kriminal bawah tanah terbesar di kota. Perdagangan manusia, narkoba sintetis, senjata ilegal, hingga data-data rahasia pemerintahan, semua berputar dalam labirin yang ia kuasai. Tapi tidak ada yang mengenalnya di dunia atas. Di permukaan, Kazuto hanyalah seorang pria penjaga gudang tua di pinggir pelabuhan.

Di belakang gudang itulah pintu masuk ke dunia gelap itu disembunyikan. Di balik rak logistik terdapat tangga besi tua menurun ke dalam tanah. Bagi yang tak tahu, itu hanya ruang kosong lembap berbau karat. Tapi bagi yang terlibat, itulah markas dari kekaisaran bawah tanah.

“Unit 17 gagal mengeksekusi targetnya, mereka terlalu mencolok,” ujar seorang pria muda kepada Kazuto sambil menyerahkan dokumen.

Kazuto membaca cepat lalu melempar dokumen itu ke meja. “Kirim Satou, dia lebih cocok untuk pekerjaan ini.  Selain itu hapus Unit 17. Kita tak butuh orang yang membawa masalah.”

Pria muda itu menelan ludah, lalu mengangguk cepat. Di sini, loyalitas tidak diukur dari waktu, tapi dari seberapa jauh kau sanggup membunuh keraguan dalam perintah.

Di dunia bawah ini, segalanya berjalan dengan hukum yang berbeda. Tidak ada belas kasihan. Semua bergerak karena kepentingan dan kekuasaan. Kazuto tidak menciptakan sistem ini dari kehampaan. Ia hanya mengambil alih sistem yang telah ada setelah membunuh pendahulunya tujuh tahun lalu. Dalam dunia mereka, hanya ada satu cara naik peringkat yakni membunuh atasanmu dan membuat orang-orang cukup takut untuk tidak mengkhianatimu.

Sementara itu, di distrik atas, disebuah kota, seorang detektif muda bernama Reina mulai menemukan pola aneh dalam kasus-kasus kriminal yang tak pernah bisa diselesaikan. Hilangnya saksi kunci secara misterius, pembunuhan berantai yang tak meninggalkan jejak, dan lalu lintas uang dalam jumlah besar tanpa diketahui darimana asalnya. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar sedang bermain-main disini, tapi semua rekan kerjanya menganggapnya terlalu banyak membaca novel kriminal.

“Aku butuh akses ke catatan bangunan lama kota ini, terutama sistem terowongan bawah tanah,” kata Reina suatu malam kepada kepala arsip.

Pria tua itu menggeleng. “Itu tidak boleh. Banyak dokumen yang dilarang dibuka publik. Terlalu sensitif.”

Reina tahu sesuatu disembunyikan, dan itu membuatnya semakin yakin. Ia mulai mengikuti jejak-jejak kecil yang terdokumentasi. Laporan warga tentang suara aneh dari lubang got, aroma bahan kimia yang keluar dari saluran air, hingga rumor-rumor tentang “hantu logam” yang menculik anak jalanan.

Sementara itu di dunia bawah, Kazuto mulai menyadari ada yang mengawasi. Informannya di kepolisian melaporkan adanya penyelidikan independen yang cukup dekat dengan lokasi-lokasi operasi mereka.

“Kita punya masalah,” ucap Kazuto pelan, matanya mengarah pada layar CCTV dari lorong utama. “Seseorang mencoba bermain catur dengan kita.”

“Harus dibunuh?” tanya asistennya.

Kazuto menggeleng. “Belum. Aku ingin tahu seberapa dalam dia bisa menggali. Kalau dia terlalu pandai, baru kita kubur.”

Malam berikutnya, Reina nyaris ditabrak oleh mobil hitam saat menyusuri gang belakang pelabuhan. Itu bukan kecelakaan. Ia tahu. Tapi justru itu meyakinkannya bahwa ia di jalur yang benar. Dengan senter dan peta tua hasil fotokopi diam-diam dari arsip, ia mulai menyusuri sistem saluran air tua yang tidak tercantum di peta modern.

Hampir tiga jam Reina berjalan menembus kegelapan dan bau menyengat, sampai ia mendengar suara samar. Sebuah langkah kaki, lalu denting besi. Ia mematikan senternya dan menyembunyikan diri. Di hadapannya, dua pria bertubuh besar menyeret seseorang yang terikat ke dalam pintu baja tersembunyi di balik tembok batu. Reina menahan napas. Ia tak punya senjata, tak punya bantuan. Tapi ia punya bukti.

Dengan kamera tersembunyi yang ia pasang di kancing bajunya, ia merekam semua itu. Termasuk simbol berbentuk mata di dinding yang menyala merah saat pintu terbuka. Itu adalah simbol yang sama pernah ia temukan di TKP pembunuhan politisi terkenal bulan lalu.

Namun sebelum Reina bisa melangkah pergi, ada suara napas di belakangnya.

“Aku sudah bilang, dia pintar,” ucap Kazuto sambil menodongkan pistol ke kepala Reina.

Reina tak menjawab. Ia menatap lurus ke depan, mencoba menghafal posisi dan arah jalan keluar.

“Sayang sekali kau terlalu jauh masuk. Tapi aku kagum pada keberanianmu. Sayangnya, dunia ini tak ramah bagi seorang pahlawan.”

Tembakan menggema di lorong, tapi Reina sempat menendang tangan Kazuto, lalu lari dengan sisa tenaganya. Ia tahu jalan keluar sudah terlalu jauh. Namun, ia tidak butuh selamat. Ia hanya butuh satu hal, sebuah data yang bisa memperkuat asumsinya akan kasus-kasus yang selama ini tidak terpecahkan. Kamera di bajunya otomatis mengirimkan data ke email cadangan. Dalam hitungan menit, rekaman itu akan tiba di inbox seorang jurnalis radikal yang telah lama mencurigai dunia bawah ini.

Kazuto sadar ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia memerintahkan seluruh unit untuk memblokir akses komunikasi. Tapi ia tahu, sistem mereka yang selama ini tidak terdeteksi, telah bocor.

Hari-hari berikutnya, media dibanjiri berita tentang “kota di bawah kota”. Video dari Reina menjadi viral. Pemerintah menyangkal, polisi pura-pura tak tahu, tapi publik sudah marah. Demonstrasi pecah, mereka menuntut agar investigasi terbuka segera dilakukan, dan tekanan politik memaksa seluruh pejabat untuk bertindak.

Kazuto tidak lari. Ia tetap di ruang komandonya, menyaksikan jaringan yang ia bangun selama dua dekade perlahan runtuh.

“Takdir manusia memang selalu berujung pada pengkhianatan,” ucapnya pelan, menatap dinding tempat simbol mata merah itu perlahan padam.

Ia menyalakan sebatang rokok terakhir, lalu menekan tombol penghancur diri. Koridor-koridor itu runtuh bersamaan dengan sejarah kelam yang takkan pernah sepenuhnya terungkap.

Namun, jauh di bawah tanah lain yang belum tersentuh, ada satu terminal yang tetap menyala. Seorang bocah berusia 14 tahun duduk di kursi komando kecil, membuka pesan rahasia dari Kazuto.

“Jika kau membaca ini, maka kau adalah penjajah berikutnya.”

Ditulis Oleh:

Apa yang ingin anda cari?