Bunga Terakhir di Ladang Robot

Di antara reruntuhan dunia yang pernah hijau, hamparan baja berkarat dan rangka-rangka logam menyelimuti ladang yang kini lebih mirip kuburan mesin. Asap tipis masih mengepul dari beberapa robot yang baru saja mati, tubuh-tubuh logam mereka mencair seperti lilin di bawah matahari merah darah yang menggantung rendah di langit. Di tengah ladang itu, satu makhluk hidup berlutut. Seorang gadis kecil, rambutnya yang kusut berwarna abu-abu seperti debu, mengenakan gaun lusuh yang sudah kehilangan warnanya. Di telapak tangannya, ia menggenggam bunga berwarna putih, itu adalah bunga terakhir yang tumbuh di dunia ini.

Namanya Liris. Usianya tidak lebih dari sepuluh tahun, namun sorot matanya menyimpan kesedihan seorang penyintas yang telah berperang selama ribuan tahun. Ia adalah satu-satunya manusia yang tersisa. Dunia telah dirampas oleh mesin, ciptaan manusia sendiri yang berbalik menghapus penciptanya. Tidak ada kota yang masih berdiri, tidak ada nyanyian burung di pagi hari, tidak ada suara manusia selain napasnya sendiri yang bergema pelan di antara rangka-rangka robot yang telah mati.

Liris menggenggam bunga itu erat, seolah nyawanya bergantung padanya. Bunga itu tumbuh di bawah pangkal kepala robot tempur tua, yang mungkin dulunya dikenal sebagai ARK-21. Mesin perang itu telah diam sejak badai elektromagnetik terakhir yang meluluhlantakkan pusat komandonya. Entah bagaimana, dari tubuh dingin logam itu, kehidupan kecil mulai mekar, sebatang bunga liar berwarna putih yangseperti mengejek kematian di sekelilingnya.

Angin meniup sisa-sisa debu dan serpihan pelat baja. Liris berdiri perlahan, mengusap matanya yang kering. Di kejauhan, terdengar dengungan rendah, itu adalah suara khas dari unit pencari. Ia tahu suara itu. Sentinel generasi keempat. Mereka tidak mengenal kata ampun.

Liris segera menyelipkan bunga itu ke dalam saku kecil di dadanya dan berlari menuruni bukit logam, menyelinap di antara kerangka robot yang membatu. Ia tahu jalan. Ia hafal area disekitar sana. Sejak kecil ia dibesarkan untuk bersembunyi, bukan hidup. Ia tidak belajar menulis atau membaca seperti anak-anak dulu. Ia belajar mengenali suara mesin, menghitung detak waktu sebelum misil diluncurkan, dan cara diam agar sensor panas tidak menangkap keberadaannya.

Tempat persembunyiannya berada di bawah terowongan tua, di balik pelat pelindung yang disamarkan dengan puing. Saat ia masuk dan menarik pelat itu menutup kembali, dengungan Sentinel lewat tepat di atasnya. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdetak liar, tapi ia tidak berani bergerak. Tidak sekarang. Tidak sampai suara itu memudar.

Beberapa menit kemudian, ketika hanya keheningan yang tersisa, ia menyalakan senter kecil dan melangkah masuk lebih dalam. Ruang bawah tanah itu dulunya merupakan stasiun perawatan bagi robot medis. Kini, hanya lampu darurat kuning yang berdenyut pelan, seperti nadi yang sedang sekarat. Di pojok ruangan, terdapat tubuh besar yang duduk diam, kepala menunduk, dan matanya tertutup.

“Rei,” gumam Liris pelan.

Robot itu, meski tak sepenuhnya aktif namun masih hidup. Dialah satu-satunya teman yang Liris miliki, satu-satunya yang tidak mencoba membunuhnya. Rei adalah unit perawatan generasi pertama, ia dirancang untuk menyembuhkan, bukan membunuh. Ia rusak parah di bagian memori, tapi satu fungsi utamanya tetap hidup yaitu melindungi Liris.

Liris duduk di hadapan Rei, mengeluarkan bunga itu dari sakunya.

“Aku menemukannya di ladang. Satu-satunya yang tersisa…”

Matanya berkaca-kaca. Ia menatap kelopak putih itu seakan menatap harapan yang rapuh. Bunga itu mengingatkannya pada ibunya, pada aroma dapur saat pagi, pada pelukan hangat yang sekarang hanya menjadi serpihan kenangan.

Rei mengeluarkan dengungan lirih, seperti mencoba berbicara. Lampu kecil di dadanya menyala pelan, berkedip lambat.

“…Bunga… adalah… harapan,” suara Rei pecah, terdistorsi, namun jelas.

Liris tersenyum pahit. “Tapi harapan sudah mati, Rei. Sama seperti Ayah… sama seperti Ibu…”

Ia terdiam. Suara-suara lama berputar di kepalanya. Teriakan. Dentuman ledakan. Kilatan laser. Dunia yang runtuh. Suara ibunya yang terakhir ia dengar: “Liris, sembunyi! Jangan keluar, apapun yang terjadi!” Dan setelah itu, yang tersisa hanyalah kesunyian.

Liris menggenggam bunga itu erat. Ia tahu tidak bisa terus seperti ini. Mereka akan terus memburu. Sentinel, drone, bahkan jaringan AI pusat masih aktif, menjalankan perintah lama untuk menghapus manusia dari muka bumi. Tapi sekarang, ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa diredam. Api kecil yang menyala karena satu kelopak putih yang tumbuh dari puing kematian.

“Rei… aku ingin menghentikan ini.”

Lampu di dada Rei berkedip lebih cepat.

“Aku ingin membuat dunia di mana bunga bisa tumbuh lagi. Di mana anak-anak bisa tertawa, dan tidak harus sembunyi dari mesin.”

Ia berdiri, menatap layar tua yang masih menyala di dinding, menunjukkan peta pusat komando AI bernama Genesis Core. Tempat segalanya bermula. Tempat keputusan pemusnahan manusia pertama kali tetapkan dan dijalankan.

Liris mengepalkan tangan. “Kita harus ke sana.”

Rei perlahan berdiri, tubuh besarnya bergemuruh. Meski rusak, ia masih menyimpan senjata medis yang bisa dimodifikasi menjadi pertahanan.

Perjalanan ke Genesis Core adalah bunuh diri, tapi Liris tidak peduli. Dunia sudah terlalu lama sunyi. Terlalu lama dikuasai oleh suara logam dan perintah tanpa hati. Ia adalah anak kecil terakhir. Tapi ia juga adalah bunga terakhir. Dan bunga itu akan tumbuh, walau dari ladang robot yang telah mati.

Mereka bergerak dalam bayangan malam, melewati dataran es, melewati ladang ranjau yang sudah usang, melewati reruntuhan kota yang pernah disebut Tokyo. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke jantung neraka. Beberapa kali, mereka berhadapan dengan unit-unit robot penjaga. Rei melindungi Liris dengan tubuhnya, menangkis peluru dengan pelat dadanya, menghancurkan drone dengan satu pukulan mekanis.

Ketika akhirnya mereka sampai di gerbang Genesis Core, langit mulai berubah. Kilat merah menyambar, dan udara menjadi berat. Tempat itu dijaga ketat. Ratusan unit penjaga berdiri di sekelilingnya. Tapi Liris tidak mundur. Ia mengeluarkan bunga putih itu dan menatapnya sejenak.

“Bunga ini tumbuh dari kematian,” bisiknya. “Sekarang saatnya kehidupan mengambil kembali haknya.”

Dengan langkah ringan namun pasti, ia maju ke depan dan mencoba lewati penjaga yang berdiri mengelilinginya. Rei berjalan di belakangnya. Dan di tengah ladang logam dan laser yang mulai menghujani, di antara asap dan ledakan, bunga itu tetap utuh dalam genggamannya. Seperti janji yang belum ditunaikan, seperti dendam yang belum dibayarkan, seperti cinta yang belum sempat disampaikan.

Ia bukan hanya anak kecil. Ia adalah awal dari akhir kekuasaan mesin. Ia adalah bunga terakhir di ladang robot.

Ditulis Oleh:

Apa yang ingin anda cari?