Kekaisaran Madilog Menyerang Dunia Manusia

Langit di atas benua Arven retak seperti kaca pecah. Cahaya keunguan menjalar dari celah dimensi yang terbuka, memancarkan kilatan petir yang menari laksana sebuah cambuk raksasa. Hari itu, langit tak lagi biru, dan bumi bergetar seperti menyambut sesuatu yang lebih tua dari waktu dan lebih bengis dari kematian.

Dari celah itu, muncullah kapal-kapal baja raksasa, melayang di angkasa dengan bentuk tak lazim, kapal-kapal itu berbentuk segi lima, bersudut tajam, dan mengeluarkan suara dengungan mekanis yang memekakkan telinga. Di atas kapal-kapal itu, berkibar bendera hitam dengan lambang mata segitiga yang terbelah: lambang Kekaisaran Madilog.

Mereka datang bukan untuk berdagang. Bukan untuk menjalin hubungan diplomatis. Mereka datang untuk menginvasi dan menguasai.

Kekaisaran Madilog adalah suatu bangsa yang berasal dari dimensi lain. Mereka adalah kaum yang menyembah logika sebagai tuhan, ilmu sebagai senjata, dan pengetahuan sebagai alasan untuk membinasakan. Di negeri asalnya, perasaan dianggap sebagai kelemahan, dan kepercayaan adalah sebuah penyakit. Mereka percaya bahwa dunia yang tidak dibangun atas dasar pemikiran rasional harus dihancurkan dan dibangun kembali di atas pondasi yang ilmiah.

Maka mereka memilih Arven. Dunia yang dikuasai oleh manusia, elf, beastkin, dan makhluk-makhluk magis lainnya. Dunia yang masih percaya pada dewa, takhayul, dan kekuatan gaib yang tak bisa dijelaskan melalui metode ilmiah.

Serangan pertama menghantam Kota Suci Bellvora. Dalam hitungan menit, tembok kokoh yang melindungi kota itu pun runtuh, menara gereja hancur, dan seluruh pasukan penjaga dikeringkan hingga menjadi abu oleh gelombang energi termal. Para imam yang mencoba melawan dengan doa dan mantera hanya bisa menatap langit yang berubah menjadi ungu sebelum tubuh mereka meleleh tanpa sempat mengucap kata terakhir.

Di balik pasukan mesin dan senjata antigravitasi itu, berdirilah sosok pemimpin mereka, Kaisar Diagnos Primus. Ia tidak pernah berbicara kecuali dengan logika. Suaranya tak punya emosi, tak punya peri kemanusiaan, hanya ketepatan dan perhitungan.

“Kehidupan yang kalian lalui sangatlah tidak efisien,” katanya saat menyapa manusia pertama yang dibawanya ke dalam sel percobaan. “Kami akan menghitung ulang struktur sosial kalian dan menghapus elemen yang tidak relevan. Emosi, agama, cinta, semuanya akan disingkirkan. Kami akan menyisakan sains yang mampu menjelaskan berbagai permasalahan secara ilmiah dan rasional.”

Di sisi lain dunia, para pemimpin manusia menggelar pertemuan darurat. Raja Eldwen dari Kerajaan Valtheria, Kaisar Kaelor dari Timur Jauh, hingga Presiden Arga dari Republik Selatan. Seluruh kepala negara berkumpul dalam aula yang biasanya hanya digunakan untuk upacara penobatan. Kini, mereka tak punya waktu untuk protokol. Dunia mereka sedang diserbu, dan pasukan biasa tak mampu menghadapi musuh yang bahkan tidak menyentuh tanah.

“Mereka seperti dewa yang turun dari langit,” ujar Kaelor lirih. “Tapi tanpa belas kasih sedikit pun.”

Presiden Arga mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa melawan mereka dengan pedang atau sihir. Kita harus berpikir seperti mereka, berpikir secara rasional, kejam, dan dingin.”

Sementara itu, di reruntuhan Bellvora, seorang pemuda bernama Lucran merangkak dari puing-puing kuil. Ia bukan siapa-siapa. Hanya murid penyihir yang gagal dari sebuah akademi lokal, ia terlalu bodoh untuk menjadi penyihir, dan terlalu pengecut untuk menjadi ksatria. Tapi hari itu, sesuatu mulau berubah dalam hidupnya.

Di tangan Lucran, tertanam sebuah logam hitam. Logam itu tak lain adalah pecahan dari senjata Madilog yang gagal meledak dan justru menyatu dengan tubuhnya. Pecahan itu mulai berbicara dalam pikirannya, memberinya data, rumus, skema teknologi yang bahkan tak dimengerti oleh ilmuwan manusia paling jenius sekalipun di masa itu.

“Aku adalah Fraktal-Null. Aku runtuhan dari peradaban Madilog yang dibuang karena memiliki kecacatan, aku memiliki rasa ingin tahu.”

Lucran, yang tak pernah berhasil mempelajari satu pun mantera dengan benar, kini bisa menghitung kecepatan cahaya dalam pikirannya. Ia bisa membayangkan ulang struktur mantra dengan presisi seperti mesin, dan dari situ, lahirlah sesuatu yang baru. Sebuah sihir yang berbasis logika.

Maka dimulailah perlawanan dari dalam. Lucran menghubungi pasukan manusia yang masih tersisa dan mengajarkan mereka sihir baru yang disebut Arkano-Logik, kombinasi antara struktur ilmu sihir klasik dan algoritma teknologi Madilog. Serangan mereka yang semula tak berarti kini mulai memberikan dampak.

Kapal-kapal Madilog mulai berjatuhan. Laboratorium bergerak mereka dibakar. Dan bahkan Diagnos Primus, Kaisar yang selama ini tak pernah menunjukkan ekspresi, akhirnya ia bergumam:

“Ketidakteraturan sedang berkembang.”

Pertempuran memuncak di Pegunungan Revalis, tempat celah dimensi masih menganga, dan pasukan utama Madilog menurunkan mesin raksasa bernama Algoritma Final, sebuah mesin yang merupakan kecerdasan buatan yang bisa menghitung masa depan dari semua kemungkinan yang ada. Dengan itu, mereka ingin meramalkan semua langkah perlawanan manusia dan menghancurkannya sebelum terjadi.

Lucran dan pasukannya menyerbu langsung ke jantung mesin itu. Satu demi satu tentaranya gugur, tapi mereka sudah tahu sejak awal bahwa ini bukan perang yang bisa dimenangkan dengan jumlah. Ini perang ideologi.

Lucran akhirnya berdiri di hadapan Algoritma Final, wajahnya kotor, tubuhnya terbakar sebagian, namun matanya bersinar. Fraktal-Null, yang telah menyatu sepenuhnya dengan pikirannya, membisikkan solusi terakhir.

“Algoritma tidak bisa membaca sesuatu yang tidak logis. Maka berikanlah padanya sesuatu yang paling tidak logis dari semua… pengorbanan.”

Lucran melangkah ke dalam inti mesin, dan dengan sihir Arkano-Logik, ia menyatu dengan aliran data. Tapi alih-alih menghancurkan dari luar, ia membanjiri Algoritma Final dengan semua hal yang tak bisa dimengerti oleh Kekaisaran Madilog seperti cinta, kehilangan, harapan, duka. Emosi mentah yang membentuk entitas yang disebut manusia.

Mesin itu jatuh dalam ledakan putih menyilaukan. Dan dengan runtuhnya pusat komando mereka, kapal-kapal Madilog mulai kehilangan kendali dan jatuh satu per satu.

Di hari itu juga, celah yang menjadi penghubung antar dimensi pun menutup. Kekaisaran Madilog mundur dengan penuh kehancuran, dan dunia manusia kembali berdiri, meskipun penuh dengan luka.

Lucran tak pernah kembali. Tapi namanya ditulis di setiap kitab baru, bukan sebagai penyihir atau ksatria, tapi sebagai jembatan antara logika dan rasa, satu-satunya hal yang bisa menghentikan peradaban yang terlalu yakin bahwa pikirannya tak bisa dikalahkan.

Dan dari reruntuhan itu, satu kalimat diukir di altar Kota Bellvora yang baru dibangun:

“Peradaban tanpa hati hanyalah mesin. Dan mesin bisa dimatikan.”

Ditulis Oleh:

Apa yang ingin anda cari?