Namaku Baskara. Di usiaku yang ke-38, aku dikenal dengan banyak nama: bos besar, lintah darat, pemangsa pemula, bahkan “Iblis Berjas Abu”. Tapi bagi orang-orang yang berani menyebut namaku di balik pintu tertutup, mereka menyebutku dengan sebutan: Raja Iblis dari dunia modern.
Aku tidak lahir kaya. Ibuku menjual kue keliling, ayahku supir truk yang mati muda karena kecelakaan kerja. Aku tumbuh di gang sempit, menyaksikan orang-orang terjerat utang bukan karena bodoh, tapi karena putus asa. Dari situlah aku belajar satu hal penting: uang bukan soal angka, tapi soal kuasa.
Dari usia 19 tahun, aku mulai meminjamkan sejumlah uang. Memang jumlahnya masih terbilang kecil, hanya satu atau dua juta untuk tetangga yang butuh beli motor bekas atau bayar uang sekolah. Tapi bunga yang aku bebankan terbilang tinggi, dan setiap keterlambatan kubayar dengan ancaman. Bukan kekerasan fisik, atau setidaknya belum. Cukup dengan kalimat seperti, “Kalau minggu depan belum bisa bayar, aku akan bicara langsung ke tempat kerja suamimu.” Itu cukup membuat nyali orang runtuh.
Lambat laun, aku mulai membangun jaringan. Selangkah demi selangkah hingga aku merekrut sejumlah orang. Setidaknya ada dua puluh orang yang bekerja di bawahku, semuanya adalah petugas lapangan. Mereka berpakaian rapi, sopan, dan selalu membawa buku catatan serta senyum tipis. Tapi di balik itu, mereka tahu bagaimana cara membuat orang takut tanpa menyentuh mereka sedikit pun. Telepon tengah malam. Datang ke rumah tetangga. Duduk di warung depan rumah sambil memandangi jam tangan. Itu adalah tekanan psikologis yang bagus untuk mereka yang meminjam uang kepadaku.
Sistemku sederhana. Pinjaman tanpa jaminan, cepat cair, hanya KTP dan foto rumah. Bunga 35% per bulan. Jika telat, akan ditambah biaya administrasi. Jika gagal bayar dua bulan, data pribadi mereka akan kusebar ke relasi-relasiku di sektor informal. Pemilik kontrakan, kepala koperasi, HRD pabrik kecil, semua sudah dalam genggamanku.
“Orang ini adalah penipu, modus yang digunakan adalah dengan meminjam uang tetapi tidak pernah ia kembalikan uang tersebut.” Narasi semacam itu cukup untuk membuat orang lain mempersulit para penunggak utang. Tidak sedikit orang, bahkan bawahanku sendiri yang menganggap cara itu cukup kejam.
“Ini bukan kejam,” kataku suatu malam pada Raka, tangan kananku. “Ini adalah seleksi alam. Kalau mereka tidak kuat mengelola uang, biar aku yang kelola hidup mereka.”
Raka hanya tertawa. Ia dulunya debt collector jalanan, sekarang duduk di belakang meja, menghitung berapa banyak rumah yang bisa kami ambil minggu ini. Kami bahkan punya notaris langganan untuk mengurus surat-surat tanah warisan yang tergadaikan.
Perlahan namun pasti di setiap tahun, bisnis yang kami kelola semakin berkembang berkembang. Aku tidak pernah mencatatnya sebagai perusahaan resmi. Semua bergerak di bawah tanah melalui rekening dengan nama pinjaman, perusahaan fiktif, dan payung hukum lembaga sosial palsu yang kutempelkan label “Yayasan Bina Mandiri Masyarakat Prasejahtera”.
Terkadang aku tertawa hebat di kantorku. Sebuah bisnis rentenir dengan segala kepalsuan hukum masih bisa bebas beroperasi. Negara bahkan tidak mencari tahu tentangku karena skandal perusahaan fiktif yang menghisap darah para orang-orang miskin. Justru mereka memujiku. Aku sering muncul dalam seminar-seminar wirausaha, diundang sebagai “praktisi finansial sukses dari nol”. Aku berbicara dengan kata-kata manis tentang kerja keras dan disiplin. Di balik layar, aku menginjak-injak punggung orang yang meminjam dariku dengan utang yang menggulung bak bola salju.
Tapi tidak semua berjalan mulus.
Pada suatu malam yang dingin di bulan Mei, saat aku tengah menegak kopi hitam hangat, seorang pemuda bernama Aldi datang ke kantorku. Wajahnya kaku, matanya penuh amarah. Ia membawa map lusuh berisi salinan surat tanah rumah orang tuanya.
“Bapak penipu,” katanya dengan suara gemetar. “Orang tua saya cuma pinjam lima juta. Dan bapak menagih sebesar 28 Juta. Lalu, sekarang bapak mau ambil rumah kami?”
Aku menatapnya lama. Di balik kemarahannya, aku melihat diriku yang dulu—anak miskin dan lusuh yang merasa dunia tidak adil. Bedanya, aku mengubah ketidakadilan itu menjadi kekuatan. Bocah ini belum sampai ke titik itu.
“Dengar aku, bocah” kataku pelan. “Aku bukan penipu. Aku hanya mengambil sesuatu yang kalian janjikan padaku untuk membayar utang kalian. Jika kau ingin menyelamatkan rumah kesayanganmu, lunasi 28 juta dalam dua minggu.”
Ia menggebrak meja, lalu pergi. Aku tahu itu bukan akhir darinya.
Benar saja. Dalam seminggu, Aldi muncul di media sosial. Ia membuat video, mengunggah salinan kontrak, menceritakan bagaimana keluarganya terjerat oleh bunga yang tak masuk akal. Video itu viral. Namaku mulai disebut-sebut. Wartawan mulai mengintai. Salah satu petugas lapanganku bahkan dipukul massa saat menagih utang.
Aku mundur ke balik layar. Menghapus jejak. Menjual lima rumah sitaan terakhir sebagai dana cadangan. Tapi tekanan publik semakin keras. Beberapa pejabat mulai merasa risih karena mereka berhubungan denganku.
Suatu malam, Raka datang ke rumah dengan ekspresi serius.
“Kita harus merubah taktik,” katanya.
“Bagaimana caranya ?”
“Legalitas. Penyesuaian bunga. Mungkin mengubah brand jadi koperasi simpan pinjam.”
Aku tertawa. “Akhirnya kita menjadi munafik seperti bank?”
“Lebih baik munafik daripada dipenjara,” balasnya.
Aku tahu ia benar. Maka kami mulai merombak sistem. Membentuk nama baru: PT Tameng Prasejahtera. Terdaftar resmi, lengkap dengan izin OJK palsu. Aku merekrut dua mantan auditor sebagai tameng legal. Bunga diturunkan dari 35% menjadi 18%. Kendati demikian, penurunan itu bukan tanpa strategi, kami menambahkan pasal-pasal tersembunyi dalam perjanjian yang bahkan pengacara pun butuh tiga jam untuk memahaminya. Dengan ini, keuntungan yang didapat bisa menutupi pengurangan bunga.
Dan seperti yang kuduga, secara perlahan publik mulai melupakan skandal yang pernah terjadi. Aldi? Ia muncul sekali di berita investigasi, lalu hilang ditelan arus informasi yang bergerak cepat. Aku yakin ia belum menyerah. Tapi kini, aku terlalu tinggi untuk disentuh.
Aku berdiri di balkon kantorku di lantai 14, menatap Jakarta yang kelap-kelip seperti papan sirkuit. Di bawah sana, orang-orang terus bekerja, berhutang, membayar, lalu mengulang siklus itu lagi. Mereka menyebutku Iblis, karena aku memeras mereka. Tapi bukankah sistem ini yang menciptakan orang sepertiku?
Bank menolak orang miskin. Pemerintah yang bergerak lambat. Lembaga sosial tak punya modal. Maka aku datang, mengisi kekosongan. Mereka membenciku, tapi mereka tetap datang, mengetuk pintu kantorku dengan wajah malu dan harapan tipis.
Dan selama dunia ini berputar atas dasar uang, selama manusia lebih cepat meminjam daripada menabung, maka selama itu pula aku tetap menjadi raja. Raja tanpa mahkota, tanpa singgasana—tapi dengan kerajaan rentenir yang tersebar di setiap sudut kota.
Raja Iblis dari dunia modern. Dan tak seorang pun benar-benar bisa menghentikanku.