Namaku Kaelen, dulunya komandan penjaga gerbang Kota Verboten atau Kote Terlarang—kota tertutup berlapis tembok kristal hitam yang menggantung di antara dua tebing yang menjulang tinggi. Kota yang hanya dihuni oleh darah bangsawan, penyihir tua, dan mereka yang dianggap suci oleh Ordo Tertinggi.
Dahulu, aku bangga berdiri di gerbang selatan, mengenakan zirah hitam dan lambang perak bertanda mata bersayap. Tugas kami hanya satu: menjaga agar yang kotor tidak masuk, dan yang mulia tidak keluar. Kami bukan pengawal, kami perisai dogma. Dan aku, sebagai yang terbaik di antara ratusan orang, menjadi tangan kanan Grandmaster Evharn, kepala Ordo Penjaga.
Kendati demikian, kebanggaan adalah racun yang manis.
Masalah datang bukan dari musuh luar, melainkan dari dalam jantung kota. Putri keempat Kaisar, Lady Veyra, suatu malam menyelinap keluar dengan menyamar sebagai pelayan. Ia tak tahan hidup dalam sangkar emas, katanya. Dan kebetulan malam itu, aku yang berjaga.
Dia menodai hukum tertulis kota. Aku tahu itu. Tapi ketika tatapannya menyentuh mataku, mataku yang dingin seperti baja mendadak retak. Ia tidak meminta tolong, tidak menangis, tidak merayu. Ia hanya berkata dengan tenang, “Biarkan aku pergi. Dan jangan pernah bertanya alasannya.”
Aku biarkan dia lewat.
Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan terbakar di hutan luar. Para penyihir menyebutnya kutukan liar—energi sihir yang tak terkendali menghancurkan raganya. Kaisar murka. Grandmaster memanggil semua penjaga. Dan saat pertanyaan dilontarkan: “Siapa yang berjaga di gerbang selatan malam itu?”, aku tak menyangkal.
Mereka tidak memberiku kesempatan bicara.
Pedangku dilucuti. Jubahku disobek. Lambang perak dicopot dan dibakar di depan wajahku. Tidak ada pengadilan. Tidak ada belas kasihan. Hukum kota hanya mengenal dua hukuman: kematian atau pengasingan. Mereka memilih yang terakhir agar aku “merasakan sendiri aib seumur hidup.”
Maka dilemparkanlah aku ke luar tembok, ke jurang kemiskinan dan kelaparan. Tidak ada nama. Tidak ada gelar. Hanya tubuh berlumur debu dan luka.
Aku mengembara dari desa ke desa, dari reruntuhan ke reruntuhan. Kadang jadi buruh. Kadang jadi tentara bayaran. Kadang harus merangkak di lumpur hanya demi sesuap roti basi. Dunia di luar Kota Terlarang lebih kejam dari apa pun yang pernah kubayangkan. Tapi perlahan aku belajar satu hal penting: kebenaran tidak selalu berada di dalam tembok.
Tiga tahun kemudian, namaku kembali dikenal. Bukan sebagai mantan penjaga, tapi sebagai “Kaelen Sang Duri,” pemimpin kelompok prajurit buangan yang melindungi desa dari perampok dan pasukan bandit. Kami bukan ksatria. Kami pemburu darah. Tapi tak satupun dari kami melupakan kehormatan.
Dan saat api mulai menyala kembali di utara, saat pasukan asing dari Negeri Salju Hitam menyeberangi celah Gunung Besi, siapa yang mereka panggil untuk meminta perlindungan?
Kota Verboten.
Pasukan elit mereka telah punah dalam pemberontakan internal. Ordo Penjaga yang tersisa hanya nama. Mereka butuh bantuan dari luar, dari orang-orang yang dulu mereka buang.
Dan aku tertawa. Tertawa pahit seperti besi yang dicium api.
Tapi aku tidak menolak. Karena dendam bukan hanya tentang balas luka. Kadang dendam adalah kesempatan untuk memperbaiki kebenaran yang dulu dikubur hidup-hidup.
Aku kumpulkan semua mantan prajurit yang pernah dibuang. Mereka yang kehilangan nama, kehilangan keluarga, kehilangan harga diri. Dan kami, para pecundang menurut mereka, bergerak menuju Kota Verboten bukan untuk menyelamatkannya—tapi untuk menagih utang kehormatan.
Kami tiba di gerbang selatan. Gerbang yang dulu kujaga dengan nyawa. Kini dijaga oleh anak-anak muda tanpa disiplin, tanpa tekad, hanya tangan gemetar yang menggenggam tombak. Mereka membuka pintu tanpa perlawanan. Ketakutan bisa menghapus batas kasta dengan cepat.
Grandmaster Evharn datang menyambut, kini tubuhnya tua dan pincang. Ia tidak memintaku masuk. Ia bersujud.
“Maafkan aku, Kaelen. Kota ini membutuhkanmu.”
Aku hanya menatapnya dengan datar. “Kau tidak butuh aku. Kau butuh tentara. Kau butuh nyawa untuk dipertaruhkan agar singgasana tetap berdiri.”
Ia tidak membantah. Karena ia tahu aku benar.
Kami tidak melindungi kota karena belas kasihan. Kami melindungi karena kota itu juga rumah kami—meski rumah itu yang membuang anak-anaknya sendiri.
Beberapa hari berlalu. Hari pertempuran semakin dekat. Setiap nyawa yang ada di Kota Verboten mulai gelisah dengan datangnya pasukan Salju Hitam. Rumor berkembang bahwa mereka adalah pasukan yang tidak bisa dikalahkan. Rumor lain mengatakan bahwa mereka adalah pasukan pembuka, sedangkan pasukan utama mereka masih jauh dibelakang sana. Sayang sekali, aku dan orang-orangku tidak terpengaruh oleh rumor murahan seperti itu.
Hari pertama pertempuran. Kami menggunakan strategi pertahanan benteng mengingat Kota Verboten sangat kalah dari sisi jumlah personil. Kendati demikian, Kota ini memiliki banyak veteran yang dibuang tanpa belas kasihan. Genderang perang mulai di tabuh. Pasukan lawan mulai mendekat.
Grandmaster Evharn sempat mendatangiku sebelum bentrokkan terjadi. Pria tua itu mengatakan bahwa jika aku beserta pasukanku berhasil mempertahankan kota, ia menjanjikan pemberian gelar oleh sang raja kepada seluruh pasukanku. “Karena kau adalah pemimpin mereka, gelarmu akan satu tingkat diatas pasukanmu.”
“Simpan saja itu untuk nanti jika kau selamat.”
Bentrokkan pun terjadi. Korban mulai banyak berjatuhan dari kedua sisi.
Pertempuran berlangsung selama tujuh hari. Salju merah menutupi menara-menara kristal. Musuh datang bukan dengan pedang, tapi dengan senjata sihir yang mencairkan logam dan membelah batu. Tapi kami bertarung seperti binatang terluka yang tak ingin mati.
Aku sendiri memimpin serangan balasan dari menara timur. Kami menyelinap ke balik garis musuh saat badai menyelimuti langit. Kami bakar gudang suplai mereka dan memutus jalur mantra yang mengikat pasukan undead mereka. Saat matahari muncul dari balik kabut, pasukan Salju Hitam mundur, setengahnya mati, sisanya tercerai-berai.
Kota Verboten selamat.
Tapi kami, para prajurit terbuang, tidak tinggal.
Setelah perayaan dan pemberian gelar yang membosankan, aku berjalan ke makam Lady Veyra—satu-satunya tempat yang tidak dijaga di kota ini. Di sana tertulis:
“Putri yang memilih jalan sendiri. Semoga jiwanya bebas, meski raganya dikurung.”
Aku tahu sekarang mengapa ia kabur. Ia ingin menghentikan kutukan sihir yang digunakan ayahnya untuk mempertahankan kekuasaan. Ia ingin mematahkan takhta sebelum menjadi penjara abadi bagi seluruh generasi. Dan aku—aku telah gagal melindunginya dari kota ini.
Aku tinggalkan bunga, lalu berjalan pergi. Tidak menoleh. Tidak menyesal.
Di luar tembok, teman-temanku menungguku. Mereka bertanya, “Apakah kita akan tinggal?”
Aku menjawab, “Tidak. Kota itu bukan rumah kita. Kita sudah membangun rumah sendiri. Rumah tanpa dinding, tanpa gelar. Hanya kehormatan.”
Dan di sanalah aku hidup kini—bukan sebagai komandan, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai manusia. Manusia yang tahu bahwa terkadang, dibuang adalah awal dari pembebasan.