Danton – Di sudut kota yang jarang terjamah, berdiri sebuah rumah dengan cat yang mengelupas, jendela berdebu, dan pintu yang selalu setengah terbuka, seolah mengundang siapa saja yang berani melangkah masuk. Di dalamnya, lorong-lorong sempit berkelok seperti usus, mengantarkan para tamu ke kamar-kamar yang dihuni oleh wanita-wanita dengan senyum dipaksakan dan mata yang menyimpan cerita tak terucap.
Di salah satu kamar itu, tinggal seorang wanita bernama Sari. Ia telah menjadi penghuni rumah itu sejak usianya baru menginjak empat belas tahun. Kini, di usianya yang ke dua puluh lima, Sari telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinding-dinding yang menyimpan ribuan rahasia. Wajahnya yang dulu polos kini dihiasi garis-garis halus, bukti dari malam-malam panjang yang tak terhitung jumlahnya.
Setiap malam, Sari menunggu di kamarnya yang remang, ditemani bayangan dirinya di cermin retak yang menggantung di dinding. Ia sering bertanya pada bayangan itu, apakah masih mengenali dirinya yang dulu. Jawabannya selalu sama, hanya keheningan yang menusuk tanpa sepatah kata pun.
Rumah itu bukan sekadar tempat pelarian bagi pria-pria kesepian, tetapi juga sarang bagi transaksi-transaksi gelap yang tak terhitung jumlahnya. Senjata, narkoba, hingga manusia, semuanya berpindah tangan di balik tirai-tirai usang dan pintu-pintu berderit. Sari menyaksikan semuanya, menjadi saksi bisu dari dunia kelam yang berputar tanpa henti di sekelilingnya.
Suatu malam, saat hujan turun deras membasahi atap seng yang berkarat, seorang pria memasuki kamar Sari. Wajahnya asing, berbeda dari pelanggan-pelanggan biasanya. Matanya tajam, menelisik setiap sudut ruangan sebelum akhirnya menatap langsung ke mata Sari. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Sari merasa tak nyaman, seolah pria itu mampu menembus lapisan-lapisan pertahanan yang selama ini ia bangun.
Tanpa banyak bicara, pria itu duduk di tepi ranjang, mengeluarkan sebatang rokok, dan menyalakannya. Asapnya memenuhi ruangan, menciptakan kabut tipis yang menari di antara mereka. Sari duduk di sudut ranjang, menjaga jarak, menunggu pria itu memulai percakapan atau tindakan.
“Kau sudah lama di sini?” tanya pria itu akhirnya, suaranya dalam dan berat.
Sari mengangguk pelan. “Sejak saya masih anak-anak,” jawabnya singkat.
Pria itu menghela napas panjang, matanya menerawang ke langit-langit yang penuh noda lembab. “Tempat ini… menyimpan banyak rahasia,” gumamnya.
Sari hanya diam, tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan yang bisa berujung pada masalah. Namun, hatinya berdebar kencang, firasatnya mengatakan bahwa pria ini bukan sekadar pelanggan biasa.
Malam itu berlalu tanpa kejadian berarti. Pria itu pergi setelah beberapa jam, meninggalkan Sari dengan pikirannya yang berkecamuk.
Beberapa hari kemudian, rumah itu digerebek oleh sekelompok orang bersenjata. Mereka bukan polisi, tetapi jelas memiliki kekuatan dan otoritas. Para penghuni rumah, termasuk Sari, dikumpulkan di ruang tengah yang luas namun pengap. Di antara para penyerbu, Sari mengenali pria yang pernah datang ke kamarnya. Tatapan mereka bertemu, dan kali ini Sari melihat sesuatu yang berbeda di matanya, sebuah penyesalan.
Pemimpin kelompok itu, seorang wanita dengan aura kepemimpinan yang kuat, melangkah maju. “Kami datang untuk membebaskan kalian,” katanya tegas. “Tempat ini akan ditutup, dan kalian semua akan mendapatkan kesempatan untuk memulai hidup baru.”
Kebingungan melanda para penghuni rumah. Bagi Sari, tempat ini adalah satu-satunya dunia yang ia kenal. Gagasan tentang kehidupan di luar tembok-tembok ini terasa asing dan menakutkan.
Namun, sesuatu dalam diri Sari mendorongnya untuk melangkah keluar, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang selama ini membelenggunya. Dengan langkah ragu, ia mengikuti kelompok itu keluar dari rumah yang telah menjadi penjaranya selama bertahun-tahun.
Di luar, hujan telah reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan. Sari menengadah, merasakan tetesan air terakhir jatuh di wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas.
Namun, kebebasan itu datang dengan harga yang mahal. Dunia luar tidak seindah yang dibayangkan. Stigma dan cemoohan menanti di setiap sudut, mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan. Sari berjuang untuk menemukan tempatnya di masyarakat yang enggan menerimanya.
Suatu hari, saat berjalan di pasar, Sari bertemu kembali dengan pria itu. Kali ini, tanpa asap rokok yang mengaburkan pandangan, Sari melihatnya dengan jelas. Pria itu tersenyum tipis, mendekat, dan tanpa banyak kata, menyelipkan sebuah amplop ke tangan Sari. Isinya hanya secarik kertas bertuliskan alamat dan kalimat pendek: “Kalau kau ingin memulai dari awal, datanglah ke sini. Dunia ini masih menyimpan sedikit keajaiban.”
Sari berdiri di tengah keramaian pasar, menggenggam amplop itu seolah-olah itu adalah nyala lilin terakhir dalam ruang gelap. Langkah-langkah kecil membawanya ke alamat yang tertera dan ternyata itu adalah sebuah bangunan tua di pinggiran kota, tersembunyi di balik deretan ruko-ruko kosong dan gudang logistik. Tak ada papan nama, hanya pintu besi yang berderit saat didorong.
Di dalamnya, ruangan itu kosong kecuali meja kayu besar, beberapa komputer usang, dan sekelompok orang dengan wajah-wajah keras namun mata penuh kehidupan. Di dinding, terpampang foto-foto korban perdagangan manusia, anak-anak yang hilang, wanita-wanita yang tak pernah kembali, dan satu tulisan besar “Kami adalah bayangan di antara bayang-bayang. Kami tidak lupa.”
Pria itu berdiri di ujung ruangan, mengenakan jaket lusuh dan menatapnya dengan ekspresi yang berada antara harapan dan ketakutan. “Kami pernah dikondisi seperti dirimu. Dan kami melawan mereka dengan cara kami. Kau mau ikut?”
Sari hanya memejamkan mata. Dalam keheningan itu, kilasan masa lalu meluncur bagai luka lama yang kembali dibuka. Tubuhnya yang dipaksa dewasa, suaranya yang dipaksa diam, senyumnya yang pernah dipakai untuk menjual rasa sakit. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang lebih besar yang disebut amarah. Sebuah dendam yang telah lama ia pendam seorang diri.
“Ajarkan aku caranya membuat mereka takut,” bisiknya.
Hari-hari berubah menjadi latihan. Malam-malam menjadi pertemuan rahasia. Sari belajar cara membaca data transaksi ilegal, menyusup ke sistem perbankan bawah tanah, hingga menyamar sebagai pengumpan dalam pelelangan gadis-gadis muda. Ia bukan lagi boneka yang dimainkan, tapi pion berduri yang menyerang dari balik kegelapan.
Di satu operasi, mereka membongkar jaringan eksploitasi di balik salon-salon pijat di Surabaya. Di lain waktu, mereka menyusup ke pesta eksekutif, menyelamatkan lima anak di bawah umur sebelum mereka dijual ke luar negeri. Sari berdiri di tengah reruntuhan dunia yang dulu menelannya, kini mencabiknya balik dari dalam.
Tapi keadilan bukan sekedar dongeng belaka, dan dunia tidak menyukai pahlawan yang terlalu kotor untuk dipuja. Ketika kelompok mereka mulai mengguncang nama-nama besar, satu per satu markas mereka digerebek. Beberapa rekannya ditangkap, sisanya menghilang. Sari tahu waktunya akan tiba.
Di malam terakhir, ia kembali ke rumah bordil yang kini telah kosong. Rumah itu telah ditinggalkan dengan kondisi hampir runtuh. Dinding-dindingnya masih memanggil dengan bisikan-bisikan masa lalu. Ia membuka pintu kamarnya, melihat cermin retak itu sekali lagi. Wajahnya kini bukan lagi wajah gadis empat belas tahun. Di sana berdiri seorang wanita yang telah bertarung dengan neraka dan mencuri sepotong surga dari bara apinya.
Di meja, ia meletakkan satu bundel dokumen berisi data transaksi, nama-nama pelanggan, foto-foto korban, bukti kejahatan yang bisa mengguncang fondasi bisnis ilegal se-Indonesia Timur. Ia meletakkan surat di atasnya, ditujukan untuk siapa pun yang menemukannya: “Jika aku tak bisa keluar hidup-hidup, pastikan ini sampai ke tangan yang tepat. Jangan biarkan darah kami kering dalam keadaan sia-sia.”
Langkah kaki mendekat. Sirene samar menggema. Sari menghela napas dan duduk di ranjang usang itu, menatap cermin yang kini memantulkan versi dirinya yang paling jujur, ia adalah seorang pelacur, seorang penyintas, seorang pembakar kerajaan busuk yang pernah memperkosanya tanpa menyentuh kulitnya.
Dan ketika pintu itu dibuka paksa dan teriakan aparat menggema, Sari tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa benar-benar cantik.
Ia telah menjadi iblis bagi dunia yang tak pernah ingin menyelamatkannya, dan dalam kebusukan itulah, ia menemukan sayapnya sendiri. Sayap yang tidak putih, tidak bersih, tapi cukup tajam untuk membelah langit dan menyisakan luka pada mereka yang dulu duduk nyaman di singgasana dunia kegelapan.